Apa yang terjadi jika sekumpulan kutu buku mengikuti kejuaraan sepak bola? Itulah yang terjadi pada diriku sewaktu masih duduk di bangku SMA
Kelas II Fisika sudah tidak mungkin juara. Mana ada "anak pintar" yang jago main bola? Begitulah kira-kira.
Tapi, menjadi juara memang bukan tujuan mengikuti laga. Adalah kostum yang lebih penting dalam penyelenggaraan even akbar itu.
Di zaman bapakmu, kostum sepakbola belum dijual di toko-toko olahraga. Semuanya harus dijahit, mahal pula. Akhirnya para pemain sepak bola menyiapkannya sendiri-sendiri.
Bagi kelas II Fisika, tidak terlalu susah. Warna putih telah disepakati. Jadilah oblong bekas kakek, hingga kaos produk iklan jadi pilihan. Yang penting seragam.
Kelihatan lucu? Iya sih.
Namun, siapa yang menyangka jika apa yang dialami oleh tim kelas kami juga pernah dilalui oleh sebagian tim besar sepak bola dunia.
Adalah Queen's Park Rangers (QPR). Zaman dulu, mereka masih amatiran, tapi sudah memiliki prinsip yang kuat. Sponsor dilarang karena sepak bola dianggap sebagai sesuatu yang terhormat. Â
Para pemain harus mengusahakan kostumnnya sendiri-sendiri. Repotnya, pihak manajemen tegas meminta motif garis horizontal biru.
Ditambah lagi, pada abad ke-19 belum ada toko yang menjual seragam sepak bola. Akibatnya, pemain tampil dengan keberagaman garis biru putih versi masing-masing.
Klub ini baru benar-benar seragam setelah 19 tahun terbentuk. Pihak manajemen akhirnya memutuskan untuk menyediakan seragam agar para pemain tidak lagi tampil beragam.
Nasib yang sama juga dialami oleh Arsenal. Tapi, mereka masih sedikit lebih cerdas. Tidak punya uang beli seragam, mereka siap menampung seragam merah bekas klub Nottingham Forrest.
Kala itu, Nottingham Forrest sudah terlebih dahulu mapan. Sementara Arsenal masih amatiran dan gureman.
Dilansir dari situs resmi Arsenal, hal tersebut tidak menjadi masalah. Karena pada akhir abad ke-19, seragam sepak bola tidak wajib menggunakan logo dan nama pemain. Yang penting seragam agar tidak membingungkan para official.
Barulah pada tahun 1930, alias 44 tahun setelah klub Arsenal berdiri, mereka akhirnya memiliki kostum merah putih yang identik hingga kini. Pada saat itu, pelatih Herbert Chapman terinspirasi dari sweater rompi merah dengan kaus berwarna putih dari salah satu pendukung Arsenal.Â
Klub lainnya yang mendapat hibah seragam lama adalah Sunderland. Mereka mendapat bantuan dari klub tetangga, South Bank FC, yang bermotif garis-garis putih merah. Hingga kini, kostum tersebut masih menjadi ciri khas klub.
Crystal Palace juga sama. Awal mereka menggunakan seragam bekas klub Aston Villa. Bedanya, sekarang sudah tidak lagi. Pada tahun 1970, Malcom Allison, manajer Crystal Palace menggantikannya. Warna seragam FC Bercelona-lah yang menjadi pilihan.
Siapa yang bisa menduga jika Manchester City dulunya pernah menjadi tim gurem. AC Milan kala itu sudah menjadi idola, dan sang manajer terinspirasi menjadikan Manchester City pada level yang sama.
Jadilah garis hitam merah menjadi pilihan jersey klub. Â Impian menjadi kenyataan, pada tahun 1969 mereka berhasil membawa pulang Piala Winners dan Piala FA.
Meskipun pada akhirnya, seragam mereka kembali lagi ke warna biru langit. Hal tersebut terjadi pada awal 2000an, setelah konglomerat dan bekas PM Thailand, Thaksin Sinawatra "menyelamatkan" tim dari level degradasi.
Manchester City bukan satu-satunya yang terinspirasi oleh kesuksesan tim sepak bola negara lain. Leeds United yang awalnya mengenakan kostum biru kuning, kemudian merubahnya menjadi putih. Mereka terinspirasi dari Real Madrid.
Begitu pula dengan Totenham Hotspurs. Awalnya seragam mereka berwarna biru tua. Setelah itu, putih-biru muda, merah, hingga belang coklat hitam. Semuanya pernah dilirik.
Sampai akhirnya mereka memutuskan warna putih karena terinspirasi dengan kejayaan klub Preston North End yang kala itu berprestasi pada awal abad ke-20.
Contek-menyontek ide rasanya sudah biasa. Bukan hanya antar sesama klub sepak bola saja, tetapi juga kostum Timnas. Seperti yang dilakukan oleh Klub sepak bola Inggris Blackpool yang mengidolakan The Oranje.
Penyebabnya adalah Albert Hargreaves. Ia salah satu anggota direksi yang terpesona dengan warna timnas Belanda.
Suatu waktu Albert yang juga seorang wasit memimpin pertandingan internasional Belanda vs Belgia. Dari sanalah ia kepincut dan menggantikan seragam Blackpool yang mirip dengan Timnas Belanda.
Dari sini kita dapat melihat, betapa miskinnya kreativitas beberapa klub besar Liga Inggris. Tapi, untungnya tidak semua. Ada Liverpool yang punya kisahnya sendiri.
Tiga tahun pertama sejak didirikan pada tahun 1892, seragam mereka berwarna biru-putih. Idenya seperti milik Blackburn Rovers yang kala itu sudah lebih mapan.
Lantas semuanya berubah pada saat Bill Shankly masuk menjdi pelatih. Suatu hari ia masuk ke loker membawa seragam merah.
"Coba pakai seragam merah itu dan bagaimana kelihatannya?" Ujar Shankly kepada salah satu pemain, Ronnie Yeats.
Semua yang hadir di sana terkagum-kagum. Ronnie tampil gagah dan garang dengan seragam merah-merah. Sejak saat itu, Liverpool resmi berseragam merah dan langsung bertransformasi menjadi klub yang disegani.
Demikianlah secuil kisah tentang sejarah unik kostum sepak bola klub-klub Liga Inggris. Moral dari kisah adalah di balik setiap kesuksesan pasti ada perjuangan.
Mana sangka jika seragam klub-klub sepak bola Liga Inggris yang sangar, berawal dari keterbatasan? Tapi, seiring waktu berjalan, tidak ada yang peduli. Nama besar dilalui melalui proses, meskipun itu kadang menyakitkan.
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H