Untuk pelanggaran ringan, alternatif hukuman sudah biasa. Tugas sosial seperti membersihkan taman, atau membayar denda, memberi peluang masuk penjara semakin tertutup.
Dengan demikian, hanya mereka yang benar-benar dianggap berbahaya yang berpeluang masuk tahanan. Penjara menjadi Lembaga rehabilitasi terakhir bagi mereka yang benar-benar tidak bisa diatur.
Mereka sadar, hasilnya, efektif. Penutupan penjara juga memiliki keuntungan dari sisi penyelenggaraan negara. Pemerintah bisa menghemat banyak uang untuk membiayai para pelaku kejahatan yang ditampung untuk urusan tidak perlu.
Belanda hanya merupakan salah satu contoh. Selain itu, ada juga beberapa negara lain yang sudah menerapkan sistem yang sama, yakni Swedia, Denmark, Finlandia, dan juga Norwegia.
Bagaimana dengan Indonesia? Semoga ada cara yang terbaik untuk menyelesaikan masalah ini.
Namun, sebelum pemerintah melakukan PR yang tidak sedikit ini, marilah kita mencoba merenung. Apakah kita lebih senang jika seorang penjahat masuk penjara, atau memaafkan mereka untuk kembali diterima di masyarakat?
Mungkinkah cancel culture menjadi penyebab semakin banyak orang dipenjara? Atau mungkin masyarakat kita memang senang melihatnya?
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI