Kebakaran maut di Lapas Kelas I Tangerang menewaskan 41 orang tahanan. Hubungan arus pendek ditenggarai sebagai penyebabnya. Insiden ini kembali menyoroti kasus lama. Over kapasitas Lapas di Indonesia.
Belanda sebagai negara yang mewariskan sistem hukum di Indonesia juga punya masalah yang sama. Bedanya, Lapas mereka kekurangan penghuni.
Saking sepinya, sehingga mereka harus "mengimpor" tahanan dari negara tetangga. Sejak 2013, tidak ada lagi penghuni lapas baru. Sehingga akhirnya, Belanda harus menutup 19 penjara.
Penjara-penjara yang ditutup kemudian dialih fungsikan menjadi sarana publik yang lebih berguna. Salah satunya adalah proyek Lola Lik. Tempat pusat kreatif yang mencakup banyak hal.
Mulai dari pelatihan bisnis online, sekolah bahasa, dan tempat pengembangan ketrampilan. Lola Lik yang dibiayai oleh pemerintah ini juga memberikan kesempatan bekerja kepada ribuan pengungsi di Belanda.
Apakah kriminalitas sudah tidak ada lagi di Belanda? Tidak, hanya saja Belanda memiliki persepsi yang berbeda dalam melihat tindak kriminal.
Pragmatisme menjadi tolak ukur dalam melihat kasus kejahatan. Manusia dimanusiakan, dan rehabilitasi menjadi pilihan ketimbang kurungan besi. Pihak Belanda melihat kasus kriminalitas sebagai satuan masalah, bukan per individu.
Stigma narapidana kemudian digantikan dengan individu yang khilaf. Para pencandu narkoba ditangani secara medis dan psikologi, Bagi yang agresif, akan diberikan pelatihan manajemen kemarahan, dan bagi yang bermasalah dengan kejiwaan, maka rumah sakit jiwa menjadi tempatnya.
Jika pemerintah merasa perlu untuk mengawasi mereka, maka gelang di kaki lengkap dengan teknologi GPS cukup untuk membatasi gerak-gerik. Dengan berada di luar penjara, para penjahat amatir ini juga diberikan banyak kesempatan untuk berkontribusi dalam kegiatan-kegiatan sosial.
Sehingga alih-alih menghukum, Belanda selalu menggunakan pendekatan sederhana dengan menghapus penyebab kejahatan. Kriminalitas dianggap sebagai penyakit kompleks. Tidak bisa ditangani dengan pola penjara-sentris.
Untuk pelanggaran ringan, alternatif hukuman sudah biasa. Tugas sosial seperti membersihkan taman, atau membayar denda, memberi peluang masuk penjara semakin tertutup.
Dengan demikian, hanya mereka yang benar-benar dianggap berbahaya yang berpeluang masuk tahanan. Penjara menjadi Lembaga rehabilitasi terakhir bagi mereka yang benar-benar tidak bisa diatur.
Mereka sadar, hasilnya, efektif. Penutupan penjara juga memiliki keuntungan dari sisi penyelenggaraan negara. Pemerintah bisa menghemat banyak uang untuk membiayai para pelaku kejahatan yang ditampung untuk urusan tidak perlu.
Belanda hanya merupakan salah satu contoh. Selain itu, ada juga beberapa negara lain yang sudah menerapkan sistem yang sama, yakni Swedia, Denmark, Finlandia, dan juga Norwegia.
Bagaimana dengan Indonesia? Semoga ada cara yang terbaik untuk menyelesaikan masalah ini.
Namun, sebelum pemerintah melakukan PR yang tidak sedikit ini, marilah kita mencoba merenung. Apakah kita lebih senang jika seorang penjahat masuk penjara, atau memaafkan mereka untuk kembali diterima di masyarakat?
Mungkinkah cancel culture menjadi penyebab semakin banyak orang dipenjara? Atau mungkin masyarakat kita memang senang melihatnya?
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H