Cerpen ini berdasarkan kisah nyata kasus pembunuhan berantai tersadis di Jepang, oleh seorang lelaki pencinta anime.
**
Umur Mari belum segenap jumlah jari di tangan kiri. Tapi, ia sudah tahu lebih banyak dari para orangtua yang taktahu diri.
Bahkan ketika sang manusia tikus menulis surat kepada ibunya, Mari tak lagi bisa menangis. Nama depannya ditulis di awal. Mengikuti kata; "Tulang, Kremasi, Investigasi, Bukti!"
Mari belum sempat belajar membaca. Selain namanya sendiri, Ia tidak mengenal kata tulang, investigasi, dan bukti. Itu urusan orang dewasa.
Kecuali kremasi. Mari hanya bisa mengira jika kata ini berhubungan dengan api neraka yang panas menjilat tubuh. Sudah pernah ia rasakan. Untuk sesaat. Sangat cepat. Â
Tapi, Mari tidak menangis.
Bahkan ketika manusia tikus menyeringai dengan giginya yang tajam, Mari tak lari ketakutan. Ia tabah. Kisah tragis telah ia lalui dengan begitu cepatnya. Gigi tajam hanyalah dongeng di malam hari.
Hanya 2 menit. Mari tahu bagaimana pentingnya udara. Sesuatu yang tidak pernah diajarkan oleh ibunya. Kendati ia tahu jika ibunya sering memanggilnya dengan, "napas hidupku."
Namun, itu tidak lagi penting. Udara hanyalah kain penutup mata.
Tapi, Mari tidak menangis.
Mari sayang Ayah. Ia senang dipangku. Berdua di atas ayunan yang mengalir lembut. Tapi, manusia tikus tidak suka.
Ia cemburu dan juga suka memangku Mari.
Mari jijik. Liur sang manusia tikus tak henti-hentinya mengalir. Bahkan sampai mengotori baju putih barunya.
Manusia tikus berbaik hati. Ia ingin mencuci baju Mari. Namun, hanya air kotor yang mengalir. Senista nafsu syahwat dari hati yang keji.
Tapi, Mari tidak menangis.
Untuk sesaat, Mari kehilangan. Berada di sini, ia tak punya kawan.
Tapi, itu hanya sebentar. Masami dan Erika kini telah duduk di sampingnya. Mereka bermain petak umpet. Agar manusia tikus tak bisa menangkap mereka.
Untuk selamanya, manusia tikus tak bisa lagi melihat mereka. Tubuh mereka terlalu suci untuk dilumuri kotoran najis dari otak nan bengis.
Kini, Mari, Masami, dan Erika tidak lagi menangis.
Sebuah kursi di taman kota. Ketiga sahabat ini sedang menunggu kawan barunya. Nomoto, gadis seusia. Bermain kejar-kejaran lebih asyik jika berempat.
Manusia tikus berada di sana, melotot dengan matanya yang berwarna merah. Darah yang mengucur langsung lenyap bersama sobekan kain berwarna merah.
Nomoto ingin bermain. Ia hendak berlari ke arah kerumunan sahabat barunya. Tapi, manusia tikus sudah membawanya pergi. Â
Ia berjalan menuju sarangnya. Rumah tikus penuh dengan mainan. Anime dan manga yang isinya menjijikkan.
Nomoto ingin berteriak, tapi suaranya lebih pelan dari embun pagi yang menguap. Sang manusia tikus haus. Ia ingin minum. Darah yang mengucur laksana sirup baginya.
Manusia tikus lapar. Ia bisa memasak. Tapi, bukan makanan yang disukai anak-anak. Orangtua pun akan berteriak. Melihat buah hatinya disajikan kepada setan.Â
Tapi, Nomoto tidak menangis.
Ia tahu jika kelak manusia tikus akan muntah. Oleh perbuatannya yang melawan takdir semesta.
Nomoto masih di sana. Memandang ke arah Mari dan para sahabatnya. Menunggu sang manusia tikus menjilat tangannya.
Nomoto tak lagi peduli. Kendati beberapa saat yang lalu, sang manusia tikus telah menyantap dirinya.
Ia hanya peduli dengan teman barunya. Yang konon akan segera naik pesawat berwarna dan wangi. Menuju pelangi, mencari kurcaci.
Di surgalah keempat gadis kecil ini akan menuju. Meninggalkan ayah bunda yang menangis terharu.
Sang manusia tikus masih di sana. Ia bermain-main dengan sisa kotoran dari para gadis. Tubuh fana yang sudah terpotong-potong. Hingga setan menariknya ke neraka.
**
Nantikan tulisan berikutnya di Kompasiana dengan judul;Â Tsutomu Miyazaki, Psikopat "Otaku," Pedofil dan juga Kanibal
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H