Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Duit 2T Akidi, Bisa Saja Milik Mukidi

2 Agustus 2021   15:48 Diperbarui: 2 Agustus 2021   19:48 2035
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masih tentang sumbangan 2T. Akidi seperti judul sinetron. Kelanjutannya selalu ditunggu-tunggu pencinta tema azab.

Setelah menimbulkan decak kagum pada Senin 26.07.2021, publik kini meraung. Entah terlalu dini, tapi konon Heriyanti anak bungsu Akidi akan jadi tersangka.

Ia dijemput oleh aparat DiResKrim Umum Polda Sumsel. Tuduhannya setara penyebaran hoax.  

Yang merasa tertipu pun bukan main-main. Gubernur hingga Kapolda. Pun "makelarnya" juga seorang professor. Ia dikenal, sangat dikenal.

Diliputi media, menimbulkan prahara. Petinggi negeri hingga orang teratas kaum Forbes pun kena sindir. Apa yang disumbang Akidi hanya bisa ditandingi oleh Bill Gates.  

Baca juga: Pengusaha Almarhum ini Menyumbangkan Uang 2T Bantuan Covid

Akidi sudah meninggal. Entah apa yang ia rasakan sekarang di atas sana. Kisah pilu mewarnai perjalanan karirnya. Hingga uang 2T menjadi viral.

Akidi sudah tiada. Tapi kini ia terkenal. Kisah heroik mengisi aksi filantrofisnya.

Baca juga: Terkuak! Sosok Akidi Penyumbang 2T, Ia Bukanlah Mukidi

Dahlan Iskan pun tak ketinggalan. Awalnya hepi, kemudian sangsi, kini rasanya ia akan sedih.

Uang 2T tidak kecil. Bisa beli 4.000 unit Innova terbaru.

Dalam tulisannya, "Menunggu 2T" di laman disway.id. Dahlan mengatakan ia bisa merasa lega setelah sesosok wanita yang ia kenal juga yakin.

Teman Dahlan itu pernah dipinjami uang oleh Heriyanti. Jumlahnya tiga milyar. Sampai sekarang belum juga lunas. Tapi sang kawan tenang-tenang saja.

Konon duit Akidi di Singapura, bukan hanya 2T. Kalau disebutkan Anda kaget. Tepatnya 16T. Kini mobil Innova menjadi 32.000 biji.

Si kawan bahkan pernah menemani Heriyanti ke Singapura. "Duitnya ada, sisa tunggu waktu."

Kalau dipikir, proses ini bisa saja masuk akal. Tidak seperti harta karun Soekarno yang konon ada di Bank Swiss.

Kenapa?

Katanya tabungan itu adalah jerih payah Akidi sedari sedollar AS masih seharga empat ribu perak. Itu berarti sebelum Krismon 98.

Masuk akal, sebab ketika politik Orde Lama masih gonjang-ganjing, banyak warga Tionghoa yang menabung di Singapura demi alasan "keamanan."

Kini, dollar seharga 15.000. Artinya duit 2T sebanding dengan beberapa ratus miliar saja. Dulu.

Masuk akal lagi. Terlebih ketika Tax Amnesty dikumandangkan, konon ada pengusaha encek-encek Glodok mendeklarasikan duit sebesar 1T.

Jangan heran kemudian jika ada orang yang keliatannya biasa-biasa saja, tahu-tahu lebih tajir dari yang disangka. Apalagi kalau modelnya acek-acek celana pendek.

Tapi, ini soal sumbangan. Perlu 100 malaikat untuk menggoda seseorang menyumbang sebanyak itu. Kecuali jika sang pemilik uang sudah di surga. Jelas ia tidak perlu lagi.

Nah, sungguh disayangkan jika ternyata tabungan itu tidak bisa dicairkan. Ia hanya akan menjadi harta karun bagi negeri seberang. Padahal uangnya dari Indonesia.

Itulah yang banyak diperkirakan hingga kini.

Mungkin saja prosesnya sudah mendekati "hampir cair," sehingga Heriyanti berani mendeklarasikannya.

Jika memang demikian, salahkan media yang terlalu bersemangat.

Mungkin saja prosesnya juga tidak "cair-cair." Sehingga Heriyanti pasrah dan menghibahkannya kepada negara. Tentu dengan bantuan pejabat berkuasa.

Jika memang demikian, salahkan pejabat yang terlalu antusias.

Dahlan Iskan dalam artikel yang sama juga mengakui jika proses pencairan dana di Singapura tidaklah gampang. Harus ada surat wasiat dan proses pencairannya sesuai dengan keinginan mendiang. Di atas matre pula.

Saya pun punya pengalaman. 

Ada rekening di Singapura. Isinya tidak seberapa.

Hanya untuk belanja dan bekal anak di sana. Uang sekolah pun masih dikirim dari Indonesia. Yang pasti tidak sampe 2T.

Nama saya dan istri tertera di tengah tulisan "or." Hingga sang petugas bank berkata;

Cara yang terbaik adalah menambahkan nama anak pada rekening tersebut. Tersebab jika kedua orangtua meninggal, sang anak akan membutuhkan proses yang sangat panjang untuk mencairkannya.

Sang petugas bank bahkan berseloroh. "Kalau Anda meninggal, jangan dulu bilang ke kami. Tunggu sampai anak Anda menguras isinya melalui ATM."

Karena jika sang empunya rekening sudah meninggal, maka ATM pun akan diblokir. Masuk akal. Tersebab Singapura memang negara Kia-su. (penuh perhitungan).  

Surat wasiat? Bisa saja, tapi orang sehat biasanya alergi wasiat. Padahal kematian bisa datang kapan saja. Pesawat jatuh hingga kepala bonyok kena durian runtuh.

Jadi, cara yang teraman adalah menggunakan sebanyak-banyaknya nama pada tabungan. Itu mungkin yang tidak sempat dilakukan Akidi. Padahal memang mungkin uangnya banyak.

Yang bikin kaget saya lagi, sang petugas bank berkata sambil berseloroh; "Banyak mayat orang asing (non-Singapura) yang kaya-kaya di sini."

Termasuk orang Indonesia. Teori Akidi kembali masuk akal. Meskipun 2T susah diterima akal.

Tidak perlu jauh-jauh punya duit sampai ke Singapura. Di Indonesia pun banyak kasus yang sama. Malas menjelaskan, kalau mau tahu caranya, sila klik artikel di Kompas.com ini.

Jadi, sebaiknya jangan pelit. Gunakanlah nama bersama istri pada rekeningmu. Kecuali itu buat selingkuhan.

Jadi ingat Mukidi.

Tokoh fiktif ini dulunya sering datang mengunjungi medsos. Ia adalah warga +62 dalam bentuk sosok semua pun bisa.

Kadang sopan, kadang pula kasar. Sesekali mengharukan, lebih sering menjengkelkan. Kadang bodoh, pintar pun cukup sering.

Semuanya tergantung dari alur kisah. Mukidi bisa tampil seperti siapa saja, apa saja, dan bagaimana saja.

Kita semua adalah Mukidi. Pemain sandiwara sesuai keinginan.

Dalam kasus Akidi, sebentar lagi opini akan terbelah dua. Bak konteslasi 2014 dan 2019.

Tapi, duit Akidi (mungkin) masih di Singapura. Bisa saja benar, kendati ada salahnya juga.

Kita semua adalah Mukidi. Pemain sandiwara juga butuh duit.

Siapa tahu saja duit Akidi (mungkin) ada di Singapura. Kenapa pemerintah tidak mengurusnya saja sekalian.

Kalau pun ternyata tidak ada. Ingat lho apa kata sang pegawai bank.

Mungkin saja ia berseloroh. Tapi, siapa tahu saja itu memang benar.  

"Masih banyak duit dari mayat-mayat Mukidi yang susah ditarik di sini."

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun