Penghasilannya sebagai tukang besi tidak menentu. Tapi, bagi Denny yang penting cukup makan dan minum. Ia cukup senang dengan kondisinya.
Sehari-hari Denny hanya bekerja mengutak-atik peralatan di bengkel sederhananya. Ia hanya bekerja sendiri, dan bengkelnya juga selalu tertutup.
Isinya juga padat dengan peralatan dan besi-besi tua. Sangat beda jauh dengan riuh gemuruh suasana olimpiade.
Namun, sisa-sisa kejayaannya Denny masih tersimpan. Tiga medali emas, beserta foto kenangan masa jayanya, hingga kartu tanda atlit di berbagai even. Beberapa sertifikat juga ia plastikkan agar tidak rusak dimakan waktu.
"Beginilah keadaanku sekarang, lulus jadi atlit, sekarang tukang besi," ujar Denny dikutip dari sumber (tribunnews.com).
Kini ia terlupakan. Oleh pemerintah, masyarakat olahraga, dan negara ini. Apa yang ia raih dan apa yang ia persembahkan bagi negeri ini seolah hanya tinggal catatan.
Tapi, Denny tidak juga tidak menuntut banyak. Ia hanya berharap semakin banyak atlit yang Berjaya dan membesarkan nama Indonesia di bidang olahraga yang ia cintai.
Ia memberikan saran kepada seluruh atlit di Indonesia;
"Untuk mengibarkan merah putih di ajang dunia, cintailah dulu profesimu sebelum menyumbangkan prestasi."
Inilah prinsip hidup Denny, yang ia akui terinspirasi dari pamannya, Charlie de Thios.
Tentunya, Denny pantas berbangga. Olahraga angkat besi yang dulunya dipandang sebelah mata, kini justru menjadi cabang olahraga penyumbang medali terbanyak bagi Indonesia.