Awalnya merasa biasa saja. Tapi, setelah dipikir tiada salahnya berbagi.
Tepat 15 Juli 2021 lalu, tulisanku sudah terbaca oleh 1 juta pembaca.
Sejak bergabung di Kompasiana pada 1 Desember 2019, saya tidak pernah menyangka masih terkurung di sini. Bersama teman melewati hari dengan laptop berjari.
Statistikku menunjukkan angka cantik.
Total 787 artikel. Itu belum termasuk 4 yang dihapus gegara melanggar konten, dan 6 yang dihapus sendiri karena gak keren.
Ini sekaligus menjadi pengingat bagi diriku, agar tidak sembarang mengunggah tulisan.
Satu lagi yang dihapus, artinya sewa kontrakku di kos bersama ini akan habis. Selamat tinggal teman-teman Kompasiana.
Ini juga bukanlah sesuatu yang bisa dibanggakan. Bagi para senior, jumlah satu juta sudah sejak dahulu kala.
Ambil contoh Om Susy yang sudah 3 jutaan, apalagi Pak Tjip yang 5 jutaan.
Bagi yang masih merasa unyu, tenang saja. Suatu waktu Anda akan kesana. Jangan bilang tidak mungkin. Kenapa?
Karena semakin lama Anda di Kompasiana, semakin banyak jumlah pembaca. Coba lihat perkembangan artikel lamamu. Yang dulunya puluhan, bisa saja kini sudah ribuan bahkan mungkin puluhan ribu.
Itu gegara tulisanmu masih berada di platform Kompasiana. Sehingga, jumlah pembaca akan terus meningkat.
Baru-baru ini Kompasianer Steven Chanigo juga mengunggah pencapaian satu jutanya.
Baca juga: Hampir Setahun di Kompasiana, 1 Juta Pembaca dan Angka Cantik di Statistikku
Anak muda ini hebat. Hanya dalam waktu belum setahun, satu juta sudah tercapai. Artikelnya pun baru setengah dari unggahanku. Tentu itu semua gegara One Piece yang sampai hari ini masih bikin garuk-garuk kepala.
Bulan Maret 2021 saya mendapat kejutan. Namaku tertera sebagai penerima K-Rewards terbanyak. Hanya sebulan, sebelum di kudeta oleh Steven.
Waktu itu saya punya janji dengan beberapa Kompasianer untuk berbagi tip dan trik. Jadi, sekalian saja kutuliskan hari ini.
Namun, sekali lagi hanya melalui pengamatan dan pengalaman semata. Bukan sesuatu yang menjamin. Jangan terlalu kecewa jika tidak berhasil.
Konsistensi;
Inilah kunci yang pertama. Targetnya one day one article. "Ah, Sibuk!" Tidak masalah. Saya pun bukan pengangguran.
Belajarlah menabung. Di waktu senggang, saya suka menulis artikel. Kalau hari biasa, umumnya hanya satu. Di pagi hari atau malam hari.
Kalau hari libur atau akhir pekan, bisa tiga sampai empat. Terkadang malah enam.
Jangan buru-buru menayangkan tulisan tersebut. Karena kamu akan kehabisan stok.
Saya selalu menjaga empat tulisan tersedia di laptopku. Jika tidak sempat membuat artikel baru, yang lama tinggal ditayangkan.
Minat;
Writer's Block konon adalah musuh penulis. Ia bagaikan penyakit yang membuat seorang penulis kehilangan produktivitas. Berbagai tip tentang mendobrak kejenuhan menulis telah banyak tersedia.
Bagi saya, ide adalah minat. Saya senang bercerita, berbagi lewat tulisan adalah salah satunya. Ide baru, kisah baru, ataupun informasi baru selalu mendebarkan. Jadilah itu sebagai artikel.
Ide;
Ide bisa datang dari mana saja, tetapi yang paling penting adalah sudut pandang yang berbeda. Bisa nostalgia, angka, atau Kamasutra. Selama tidak melanggar konten, sah-sah saja.
Lihatlah apa yang sedang populer. Amati dan sentuhlah dengan cara berpikirmu yang unik.
Idealisme bisa saja, tapi jangan terlalu kaku. Ia bisa jalan bersama dengan kreativitas.
Topil tersedia, jangan putus asa dulu jika tidak sesuai keahlian. Banyak sisi segi yang bisa ditilik.
Bisa berasal dari pengalaman ataupun keahlianmu. Koki yang jago tidak memilih bahan. Ia bisa masak apa saja dari segala kerbatasan.
Label;
Pilihan atau AU, selalu menjadi incaran. Saran saya tidak usah peduli, apalagi mengharapkan. Anda akan sakit hati.
Ingat, label adalah hak prerogatif Mimin. Seburuk apa pun keputusannya, itulah yang resmi.
Tulisan yang baik tidak menjadi pilihan, itu sudah biasa. Tulisan buruk jadi AU, tentu ada maksudnya.
Jangan menganggap jika kualitas seorang penulis bergantung pada label. Itu salah besar.
Kualitas penulis sesungguhnya berada pada dirinya sendiri. Seburuk apa pun itu, ialah yang terbaik. Sisanya tinggal dipoles.
Artikel Populer;
Susah mengetahui selera pembaca, tapi lebih sulit memahami selera Mimin. Artinya, kamu lebih mungkin membuat artikel populer daripada mengharapkan AU.
Banyak tulisan AU yang minim pembaca, tetapi banyak juga artikel peang yang berjibun komentar dan like.
Kendati mengecewakan gegara tidak masuk hitungan K-Rewards, paling tidak banyak dibaca. Bukankah itu adalah maksud sebenarnya dari menulis?
Artikel Populer adalah lanjutan dari ide; Kreativitas dan sensitivitas itu perlu.
Untuk membangkitkannya, tanyakanlah dulu pada dirimu sendiri, apakah artikel ini akan banyak pembacanya?
Tapi, jangan bertanya pada egomu. Ia sangat mematikan.
Tanyakan pada rasa simpatimu, empatimu, hasratmu, rasa penasaranmu, hingga nafsu tersembunyimu. Itu lebih masuk akal, karena mewakili pemikiran pembaca.
Jangan Lupa Blogwalking;
Jika ingin dilike, jangan lupa ngevote. Itu rumus yang tak terbantahkan. Mendulang like juga menambah tingkat keterbacaan.
Namun, saya sendiri termasuk golongan yang jarang blogwalking. Mohon maaf ya manteman yang sudah sering berkunjung dan belum sempat kukunjungi balik.
Ide lain dari Kawan Kompasianer;
Sebagian melakukan usaha ekstra keras untuk menaikkan tingkat keterbacaan tulisan. Menggunakan medsos, hingga jaringan.
Salah satu yang paling mengagumkan adalah usaha dari Kners Uli Hartati.
Jika tidak percaya, sila ulik artikelnya dibawah ini; 7 Cara Cepat Menjaring Pembaca
Bayangkan dari media sosial, fanpage, kolom komentar di Youtube, hingga beriklan di facebook. Semua dilakoni.
Saya sendiri tidak memiliki semangat dan endurance seperti si Uli. Salutlah buat dia.
Tanggapan atas Curhatan Kompasianer Steven;
Steven kecewa gegara merasa kehilangan teman. Patokannya adalah jumlah vote dan like yang semakin menurun.
Saya langsung meminta maaf di kolom komentarnya. Sebabnya saya bukan pencinta one piece. Di kamusku, "two-piece" mungkin lebih menarik. (sila artikan sendiri).
Tapi bukan berarti aku tidak melirik tulisannya. Hanya tidak tahu mau komentar atau vote apa.
Kompasiana memang adalah medsos, tempat mencurahkan isi kepala dan ajang saling menyapa. Tetapi, ia tidak sepopuler Instagram atau facebook.
Di kedua platform itu, interaksi bisa berjubel. Sementara di K, amit-amit dapat sebundel.
Jangan Pernah Kecewa, Tiada yang Abadi
Steven juga menyinggung postingan seorang Kners di media sosialnya. Katanya, si senior mengunggah story di instagramnya.
Isinya adalah; Kompasianer yang baru-baru ini mendapat centang biru, skill menulisnya nol besar.
Steven mengutarakan kekecewaannya. Ia termasuk salah satu yang baru saja dapat centang biru.
Ucapan penyemangat pun berkeliaran di kolom komentarnya. Mulai dari tidak usah dipeduli, jadilah diri sendiri, hingga tak perlu terbawa emosi.
Saya sendiri mengatakan bahwa bisa saja sang senior hanya kecewa terhadap sistem di K. Penyebabnya bisa banyak dan hanya ia sendiri yang tahu.
Saya juga pernah kecewa. Dulunya sebulan bisa dapat minimal 4 label AU. Namun, sejak 17 Maret 2021, 200an tulisan berturut-turut, tak sekalipun dapat label AU.
Tapi, mau dibilang apa. Kecewa hanya akan merugikan diri sendiri.
Jadi, pesannya jelas. Jangan terlalu banyak berharap Mimin bisa mengapresiasi. Yang nyata adalah jumlah pembacamu.
Perubahan itu Ada
Saya juga menasehati Steven bahwa ia harus bersiap. Andaikan anime tidak lagi diminati, jangan terlalu kecewa.
Jadi ingat dengan Kang Fery W dan Elang Salamina. Tulisan politiknya selalu mendominasi. Tapi, itu dulu, sekarang sudah tidak lagi.
Tapi, salut buat Kang Fery. Ia dengan cepat mengganti topik tulisannya. Tidak lagi melulu politik, apa pun bisa ia tulis.
Artinya, penulis harus mampu beradaptasi dengan keinginan pembaca. Menjadi penulis yang fleksibel akan mampu menguji daya tahanmu di Kompasiana.
Kekecewaanku;
Daeng Khrisna sedang ada di Jeneponto. Dua jam dari Makassar. Ia lagi sibuk mempersiapkan acara akbar Festival Turatea.
Ia telah berjanji untuk memberikan kursus menulis bagi anak-anak muda dalam organisasi yang aku ayomi. Mumpung Daeng lagi di Makassar, kesempatan emas.
Setelah berulang kali kusampaikan kepada anak-anak muda tersebut, hampir sebulan kemudian baru perkaranya jelas.
Banyak di antara mereka yang enggan menulis karena;Â tidak punya hobi, tidak percaya diri, hingga yang terparah: Vlogging lebih keren dari blogging.Â
Selanjutnya adalah urusan saya memberi mereka pemahaman tentang manfaat menulis. Tidak perlu saya jelaskan di sini.
Apakah Anda setuju dengan pernyataan anak-anak muda tersebut? Jika tidak, hanya ada satu cara;
Tetaplah menulis hingga akhir hayatmu. Berapa pun usiamu, apapun latar belakangmu.
Karena jika generasi muda sudah kehilangan minat menulis, maka catatan sejarah bangsa ini akan terhenti.
Idealisme akan tersumbat, dan hasil karya hanya sekedar cuitan ringan di media sosial. Untung-untung bukan makian!
Jadi, daripada mengharapkan AU dan Pilihan, mending tetap menulis dan menulis! Lama kelamaan satu juta pembaca juga akan tercapai. Itu aja sih!
Semoga Bermanfaat!
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H