Namun, argumentasi istriku ada benarnya juga. Ia bukannya cemburu. Ia membandingkannya dengan dirinya.
"Kalau ada yang panggil aku 'sayang,' dijamin pipinya bakal kena tampar," demikian katanya.
Aku langsung terhenyak. Apa yang ia katakan itu benar adanya. Apa pun bentuknya, tidak elok bagi seseorang yang memanggil "sayang" kepada istri tercintaku. Maklum, otak patriarki pada diriku terkadang masih bersemi.
**
Lantas, apakah diriku akan berhenti mengucapkan kata sayang? Mungkin tidak, sebab aku ingin menjadi diri sendiri. Sifatku yang ekstrovert memerlukan banyak kosakata untuk membuat suasana ceria.
Kata "sayang" masih sering aku gunakan. Namun, akan menjadi sangat selektif. Hanya kepada orang tertentu dan suasana yang tepat saja. Terkhusus jika tidak ada istri di sampingku.
Kendati, aku juga harus mengakui bahwa makna kata "sayang" bisa memiliki ribuan arti. Sebabnya, aku memang penyayang.
Sayang istri; iya, sayang anak;Â iya, sayang orangtua;Â iya, sayang kamu, kamu, dan kamu; iya.
Lah, jadinya apa?
Kesembilan; Sayang yang Sudah Tidak Bermakna Lagi
Jadinya, kata "sayang" yang kuumbar sudah tidak bermakna lagi. Tidak terasa indah di telinga istri. Tidak spesial bagi mereka yang aku sayangi.
Namun, kabar baiknya, kendati ungkapan kata sayang tidak lagi spesial, tapi aku punya panggilan sayang buat ia yang tercinta;