Kehidupan mahasiswa PIÂ tiada bedanya dengan gerakan bawah tanah di seluruh Eropa. Mereka harus siap dirazia kapan saja dan menghadapi ancaman mati dari SS yang kejam.
Kendati demikian, PI cukup terorganisir. Anggota mereka memiliki nama samaran yang kebanyakan adalah nama Belanda. Ini membuat mereka menjadi organisasi militer dan intelijen yang cukup diperhitungkan.
PI dibagi dalam tiga kelompok besar; Leiden, Den Haag, dan Amsterdam.
Di Amsterdam, awalnya mereka memiliki radio untuk menyiarkan siaran propaganda melawan NAZI. Namun, setelah disita pada, mereka menggantikannya dengan menerbitkan buletin Fulten.
Namun, akhirnya gerakan mereka juga terendus oleh NAZI pada tahun 1944. Beberapa anggota redaksi ditangkap, sebagian lagi berhasil meloloskan diri.
Sebagian dari mereka memilih berada di garis depan. Selain Iwan Soejono, juga ada Jusuf Muda Dalam. Ia bergabung sebagai korps penembak senjata mesin dan berhasil membuat konvoi NAZI kalang-kabut.
Jusuf bertugas di Den Haag, selain mengasuh buletin De Brevijding, ia juga terlibat dalam beberapa aksi penyergapan. Aksi sporadis yang ia lakukan cukup strategis. Termasuk salah satunya adalah pada saat menyergap kantor distribusi kupon makanan NAZI di Den Haag. Â
Baca juga: Jusuf Muda Dalam, Menteri, Korupsi, Selebriti, dan Vonis Mati
Setelah kemerdekaan, Jusuf diangkat menjadi Menteri Urusan Bank Sentral / Gubernur BI yang kemudian divonis mati, akibat dicap sebagai antek PKI pada tahun 1966.
Di Leiden, kelompok perlawanan bawah tanah dipimpin oleh Iwan Soejono. Mereka bertindak bagai milisi yang terlatih. Mendapatkan senjata dari para pembelot NAZI, berlatih menggunakan senjata di bawah sebuah pabrik wol.
Selain angkat senjata dan jalan jurnalis, anggota PI lainnya juga membantu perjuangan dengan menyelamatkan orang Yahudi di Belanda. Salah satunya adalah Rachmad Kusumobroto, mahasiswa hukum di Leiden. Ia membantu banyak anak Yahudi bersembunyi dari kejaran NAZI.