Hai David, kemarin malam di tengah gempuran covid di tanah air, saya menyertakan rengginang sebagai salah satu menu sehat makan malam.
Jangan ketawa dulu. Makananan sehat itu rasanya hambar. Pun halnya dengan hidup suci. Sedikit dosa yang dicampur, mampu membuat jiwa yang sepi memberontak perih. Rengginang itu adalah kenyataan hidup. Ia menjelaskan bahwa dosa umat manusia tidak akan pernah bisa dihapuskan. Itulah lelucon bapak-bapak.
Batal dengan rengginang, David menghubungkan lelucon bapak-bapak dengan karya seni. Kepala baru saja membesar, muncul lagi pernyataan;Â "saking buruknya sampai-sampai jadi bagus."
Bayangkan, bagaimana rasanya diri setelah diangkat, eh, dibanting lagi. Hai Dave, perlu diketahui jika karya seni itu memang dimulai dengan sangat buruk.
Bandingkan "Patung David" karya Micheleangelo dari zaman renaisans. Awalnya sangat buruk, tersebab P***is yang ditonjolkan, sama sekali tidak gagah. Tidak berdiri kuat pada tempat terhormat.
Namun, para ahli sejarah mengatakan, sejak zaman Yunani Kuno, P***is yang tidak ereksi melambangkan kehormatan diri. Tidak akan ngeres hanya gegara kesambit buku stensilan Enny Arrow.
Nah, bapak-bapak pun demikian. Dijamin jika bukan karena kehormatan, maka ereksi adalah urusan yang keduapuluhan. Sementara Oji yang masih berusia duapuluhan, ceritanya beda.
Sampai di sini, saya masih bingung. Apa bedanya lelucon bapak-bapak dan lelucon pria perjaka? Selain di level Otong yang sudah saya jelaskan di atas, mungkin masih ada lagi.
Untuk itu, mari kita coba ulik secara sains. Pria perjaka adalah yang; a) belum kawin, 2) belum nikah, 3) masih terus menjomlo.
Nah, tidak ada batasan usia atas defenisi tersebut. Sementara istilah bapak-bapak akan terciptakan dengan sendirinya, jika ia sudah mencapai level rengginang yang melempem (baca: puber kedua).
Dengan demikian, bisakah aku menyimpulkan batasan antara dadjokes dan lelucon perjaka adalah dari sisi pengalaman? (seksual).