Menjadi dewasa dengan cara yang tertekan, Siauw mulai meminati politik. Ia ikut aksi boikot yang dicetuskan oleh Liem Koen Hian, terhadap politik sepak bola Belanda di Surabaya.
Baca juga:Â Liem Koen Hian, Tokoh Wartawan, dan Politisi Tionghoa
Berkat kemampuan menulisnya, Siauw bergabung dengan Sin Tit Po di bawah bimbingan Liem. Namun, pada tahun 1934, saat koran Mata Hari yang berbahasa Melayu dan Tionghoa berdiri, Siauw bergabung di sana. Surat kabar ini di bawah asuhan PTI (Partai Tionghoa Indonesia).
Siauw mengurus cabang Surabaya, sementara kantor pusat harian ini berada di Semarang. Selama 5 tahun, Siauw bekerja pada harian ini, hingga pada tahun 1939 ia menjadi editor utama.
Pada tahun 1940, Siauw menjadi pimpinan redaksi. Namun, tidak bertahan lama. Surat kabar ini ditutup Jepang pada tahun 1942 karena dianggap terlalu keras menentang imperalisme.
Tahun 1940, Siauw menikah dengan pujaan hatinya. Tan Gien Hwa, yang merupakan seorang putri pedagang sukses dari Pemalang.
**
Pada era pendudukan Jepang, Siauw pindah ke kota Malang. Ia menjadi pengusaha dengan membuka toko bahan pokok. Akan tetapi, jiwanya tidak di sana. Jurnalisme dan gerakan kemerdekaan adalah hasratnya. Akhirnya toko tersebut ia serahkan ke saudaranya.
Siauw lanjut terlibat dalam gerakan revolusi. Ia memimpin organisasi milisi Tionghoa bentukan Jepang, Kakyo Shokai. Di sini, Siauw punya banyak jasa untuk mengajak pemuda-pemuda Tionghoa mendukung kemerdekaan Indonesia.
Berpura-pura tunduk pada Jepang, Siauw bisa mengorek banyak rahasia dari mereka. Informasi ini yang kemudian ia bocorkan kepada milisi Indonesia lainnya.
**