Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ketika Koes Plus Didaulat Jadi "James Bond" di Era Soekarno dan juga Soeharto

17 Juni 2021   19:54 Diperbarui: 17 Juni 2021   19:59 886
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketika Koes Ploes Didaulat Menjadi James Bond di Era Soekarno dan Soeharto (eventori.id)

Politik bisa bersinggungan dengan apa saja. Mulai dari agama, bola, dan juga musik.

Paling tidak sejarah Indonesia mencatatnya. Terjadi pada era Soekarno, dan "korbannya" adalah Koes Ploes (Koes Bersaudara).

Siapa yang tidak kenal dengan band legendaris ini? Koes Ploes adalah tonggak pop modern Indonesia. Eksis sejak tahun 60an, hingga sekarang masih selalu dikenang.

Lagu-lagunya pun legendaris. Sebutkanlah; Kolam Susu, Buat Apa Susah, Bis Sekolah, Bujangan, dan puluhan lainnya.

Tapi, adalah lagu The Beatles yang menciptakan bencana bagi grup band asal Tuban, Jawa Timur ini. Mereka dijebloskan ke dalam penjara pada bulan Juni 1965.

Saat itu Koes Bersaudara diminta manggung di rumah Kolonel Koesno, seorang perwira tinggi AL. Acara itu turut juga dihadiri oleh Staf Kedutaan Besar AS.   

Baru saja naik panggung, mereka terpaksa harus menghentikan lagu "I Saw Her Standing There." Di luar sana, sekelompok massa yang diduga dari Pemuda Rakyat, organisasi sayap PKI, melakukan unjuk rasa.

Keributan diambil alih oleh polisi. Tony, Yon, Yok, dan Nomo Koeswoyo dijebloskan ke dalam penjara. Dalihnya menimbulkan keributan.

Sebenarnya grup band ini sudah lama menjadi incaran pemerintah. Mereka adalah band dengan aliran rock. Sejenis The Beatles, Rolling Stones, dan Beach Boys.

Soekarno sendiri tidak senang dengan jenis musik-musik tersebut. Dianggap tidak sesuai dengan semangat perjuangan bangsa. Kontra revolusi.

Diingatkan halus tidak mempan, ditegur keras terus melawan, rekaman lagu terus berjalan. Album ramai dibeli, piringan hitam menapaki puncak tangga lagu terpopuler.

Popularitas mereka setara dengan Rahmat Kartolo dan Alfian. Bedanya, lagu Koes Ploes lebih milenial. Mirip BTS di zamannya.

Sayangnya, rock n roll terlalu kebarat-baratan. Tidak patriotik, tidak nasionalis, dan anti revolusi. Tekanan pun menjadi-jadi, piringan hitam turut dibakar. Aksi unjuk rasa diprakarsai PKI, Koes Bersaudara jadi musuh komunis.

Lantas, apakah atas dasar nasionalisme, musisi legendaris dengan jutaan penggemar itu pantas dijebloskan?

Jawabannya terkuak 40 tahun kemudian. Dalam buku Kisah dari Hati: Koes Ploes Tonggak Industri Indonesia, karya Ais Suhana (2014).

Dalam buku tersebut tertulis, "[...], jika bukan karena peristiwa G30S, Koes Bersaudara hampir pasti dikirim ke Malaysia untuk sebuah misi rahasia negara."

Hal senada juga diungkapkan oleh Yon Koeswoyo. Bahwa Koes Bersaudara telah dirancang sebagai "korban," karena membawakan lagu-lagu The Beatles.

Pada masa-masa akhir era Soekarno, memang Indonesia sedang bersitegang dengan Malaysia. Soekarno menuduh negara Jiran itu sebagai boneka bentukan Inggris Raya.

Konfrontasi pun terjadi secara langsung. Amunisi dikumpulkan, kampanye digencarkan, musisi pun jadi agen rahasia negara.

Tujuannya, menghimpun kekuatan pro Indonesia, menyusupkan seni dan budaya, dan menghujam negara tetangga dengan panggung musik dan musisi Indonesia.

Jika memang demikian, mengapa Koes Bersaudara harus dijebloskan ke dalam Rutan Glodok selama tiga bulan? Jawabannya adalah efek dramatisir.

Harus terbentuk opini bahwa pemerintah Indonesia "benci" Koes Bersaudara, agar mereka lebih leluasa beraksi.

Entah siapa yang menjadi perancang strategi ini. Koes Bersaudara akhirnya tidak jadi memerankan James Bond. Pemberontakan PKI ditumpas, Malaysia tidak lagi jadi ancaman. Koes Bersaudara dibebaskan, kembali membaur dengan masyarakat.

Sontak Koes Ploes menjadi simbol perlawanan. Musik mereka mewakili pembaharuan masa. Dianggap sebagai lambang perlawanan orde lama yang sudah obsolete.

Meski gagal menjadi agen rahasia era Soekarno, ternyata Koes Ploes juga mendapat tugas yang sama dari orde baru. Mereka dikirim ke Timor Leste (dulu; Timor Timur).

Tugasnya mudah. Manggung di sana dan melihat kecenderungan politik masyarakat Timor Timur. Apakah pro-Indonesia atau masih mencintai Portugal.

Bagaimanapun, musik adalah bagian dari budaya. Ia memiliki peranannya tersendiri. Sebagai pembentuk dan penyebar opini sekaligus.

Koes Ploes adalah salah satu contoh, bagaimana musik dapat menjadi pedang bermata dua. Mempersatukan bangsa dan sekaligus menjadi senjata rahasia yang mematikan.

Referensi: 1 2 

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun