Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Patung Pahlawan Hendra Rahardja di Universitas Ternama China

3 Juni 2021   19:46 Diperbarui: 3 Juni 2021   20:10 1447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Patung Pahlawan Hendra Rahardja di Universitas Favorit China (tirto.id)

Eddy Tansil tidak bodoh. Ia sadar betul pelariannya berkonsekuensi besar. Tidak akan pernah bisa menyentuh tanah kelahirannya lagi.

Tapi, ia benar tidak bodoh. China akan menjadi tempat tinggal barunya. Bahkan mungkin ia akan mati di sana.

Pelarian diri telah ia rencanakan matang. Ia bisa menjadi buronan koruptor di Indonesia. Tapi, tidak di China.

Di Fuqing, provinsi Fujian (Hokkian), ia disambut bak pahlawan. Seorang perantauan yang patriotik segaligus dermawan. Kampung halamannya tak pernah dilupakan.

Baca juga: Kiprah Eddy Tansil, Kisruh di Indonesia, Rusuh di China

Ditambah lagi, hubungan diplomatik Indonesia China masih kabur saat itu. Hingar bingar keluarga Tansil di Indonesia, tak akan terdengar hingga ke China.

Sebagai diaspora yang peduli dengan tanah leluhur asli, keluarga Tansil tidak mengalami kesulitan koneksi.

Bertemu dengan orang berkuasa sudah bukan rahasia. Perdana Menteri, Sekjen Partai Komunis, sudah biasa. Apalagi hanya sekelas Wali Kota atau Gubernur saja.

Salah satu panel di museum Diaspora Fuqing terpampang kisah sejarah keluarga Tansil. Entah apa isinya. Entah apakah ada cerita tentang aksi culasnya di Indonesia.

Keberuntungan ini tidak datang dengan tiba-tiba. Eddy harus berterima kasih kepada ayahnya. 

Harry Tansil telah membangun citra dirinya sejak pertengahan tahun 80an.

Baca juga: Hijrah Eddy Tansil, Rusuh di Indonesia, Kisruh di China

Harry Tansil lahir di Fuqing tahun 1913. Pada saat berusia 21 tahun, ia diajak iparnya berimigrasi ke Makassar. 

China zaman dulu tidak seperti sekarang. Terlebih Fuqing, daerah kelahiran Harry.

"Qiu Nian Han, Yu Nian Zai," Peribasaha setempat. Artinya "Sembilan tahun kekeringan, setahun bencana banjir."

Tepat mendeskripsikan kondisi Fuqing. Daerahnya tandus dan alamnya muram. Lahan tidak cocok untuk pertanian. Tanahnya tercemar garam pekat dari lautan.

Orang Fuging adalah perantau alami. Lebih baik berkelana daripada mati. Pantai dan gunung pun didaki. Mimpi jadi orang kaya, kendati tidak pasti.

Pun halnya dengan Harry. Tapi, ia berhasil membuktikan diri. Di Makassar, ia sukses. Walaupun reputasinya kempes. 

Pada tahun 1981, Harry berkunjung ke kota kelahirannya. Tanpa terasa 47 tahun sudah ia merantau. Saat itu, Eddy baru berusia 20 tahunan. Ia juga turut serta memantau.

Membuktikan diri, aktualisasi pertiwi. Harry membangun banyak fasilitas di tanah leluhurnya. Dari jalan, irigasi, rumah sakit, sekolah, hingga tivi kabel.

Ia juga tak segan membagi-bagi hadiah. Dari sepeda kumbang, mesin jahit, cincin emas, hingga angpao bagi orang miskin. 

Baca juga: Jejak Keluarga Tansil, Cek Kosong, hingga Keberadaan Eddy Tansil

Konon sepertiga penduduk kampungnya pernah menerima bantuan dari keluarga Tansil. Atas kontribusi mereka, beragam penghargaan pun diterima.

Medali Emas dari pemerintah Provinsi Fujian (1990). Juga Penghargaan "Lue Yu Yingcai" atas usaha di bidang kesehatan, dari pemerintah pusat (1984).

Konon total sumbangan Harry Tansil hingga ia meninggal mencapai 25 juta dollar Amerika. 

Sementara Harry Tansil bekerja di bawah, Hendra Rahardja menjadi corongnya. Ia tampil sebagai dermawan termahsyur.

Terlepas dari namanya yang sudah jelek di Indonesia, tidak di China. Hendra adalah pahlawan devisa bagi kampung halaman leluhurnya.

Sebuah patung menjadi monumen di Fujian Normal University. Mengenakan setelan Mao Suite. Tingginya sekitar 3 meter. Mirip patung Chairman Mao, pendiri RRT.

Patung yang terbuat dari pualam putih itu dinarasikan sebagai "bapak yang bijaksana." Dibuat atas kedermawanan Hendra bagi kampung halaman ayahnya.

Baca juga: Mao Suit, Gaya Busana Kim Jong-un, Ternyata Alat Propaganda.

Patung tersebut terpajang dekat pintu masuk sebuah Universitas yang bukan gureman. Tapi, Universitas tertua di provinsi Fujian. Salah satu yang terfavorit di China. 

Dibangun di atas lahan 400 hektar. Luas bangunan mencapai 15 hektar.

tirto.id
tirto.id
Patung Hendra berada di sana bukan tanpa alasan. Sebelum menjadi Fujian Normal University pada tahun 2016, dulunya Bernama Sekolah Teknik Qiao Xing. Didirikan oleh keluarga Tansil pada tahun 1983.

Nama Qiao Xing sendiri terilhami dari nama mandarin Hendra Rahardja, yakni Zi Xing. 

Jasanya kepada universitas tersebut berhasil membuat pemerintah dan rakyat setempat terkesima.

Konon sejak didirikan, total sumbangan Hendra mencapai angka 100 juta RMB. Alias 203 miliar rupiah kurs saat ini.

Dana pendidikan juga mengalir ke beberapa institusi lainnya. Sekolah Dasar dan Menengah Jialing Qiao Xing. Juga Fasilitas Zi Xing Teaching Building di Universitas Fuzhou.

Sumbangan ini terus mengalir deras. Yang mengejutkan, beberapa hari sebelum Hendra meninggal pada Januari 2003, ia masih menyumbang dua mobil dan 1 juta RMB kepada institusi sekolah.

Setelah ia wafat, keluarga Hendra melanjutkan aksi filantrofisnya. Adalah Budiman Rahardja. Juga dikenal sebagai Chen Yuan Shou. Ia bukan kacangan.

Posisi terhormat kini di pundaknya. Anggota MPR-nya Republik Rakyat Tiongkok. Mewakili Provinsi Fujian.

Baca juga: Irisan Keluarga Tansil dan Orang Nomor Satu di Tirai Bambu

Selain ayah dan kakaknya, Eddy Tansil juga seorang dermawan. Ia termasuk 23 pengusaha perantauan Fujian yang menyumbang lebih dari 10 juta RMB.

Penghargaan ia terima pada tanggal 16 Mei 2004. Dalam acara konferensi perkumpulan China perantau Fujian yang ke-4. Konon Eddy hadir menerima penghargaan secara personal.

Namanya juga turut berandil pada revitalisasi Kuil Wanfu. Kuil yang merupakan peninggalan bersejarah dari Dinasti Tang (789 Masehi).

Kuil tersebut pernah terbakar dan dihancurkan pada masa pemerintahan Dinasti Qing. Namun, per 1983, pemerintah China mulai membangunnya. Eddy turut serta.

Selain itu, di kampung halamannya, Eddy dan ayahnya juga pernah membangun agrobisnis berskala ekonomi rakyat. Golden Key Fruit Farm untuk komoditas buah lengkeng. 

Proyeknya seluas 100 hektar dan mencakup 30.000 pohon.

Petani lokal yang dulunya menanam kacang tanah, ubi jalar, atau kedelai, banyak yang beralih ke sana. Lebih menghasilkan dan tidak mudah gagal.

Gunung Yupang yang semula tandus juga dihijaukan. Caranya adalah dengan membuka peternakan babi di kaki gunung. Kotoran babi kemudian menjadi pupuk bagi pohon.

Eddy memang sama dermawannya dengan ayah dan kakaknya. Tapi, ada persepsi lain yang beredar.

Seorang warga Fuqing Bernama Huang mengingatkan untuk tidak sembarang menyebutkan nama mandarin Eddy.

"Ia adalah sosok yang disegani dan juga ditakuti," ujar Huang.

Awalnya Huang agak kesulitan mencari padanan kata yang dimaksud dengan "kehati-hatiannya." Ternyata berasal dari penulisan nama mandarin Eddy Tansil.

Chen Cu Fuan, yang dalam bahasa mandarin bisa diplesetkan menjadi kurang-lebih; "Mafia."

Entah Huang hanya bermaksud bercanda, atau memang demikian yang ia pikirkan.

Referensi: 1 2 3 4 5 6

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun