Hario Kecik tidak pernah sakit, kecuali sakit hati ketika pemerintah memperlakukannya dengan tidak adil.
Tanggal 1 Oktober 1945, gedung itu masih berdiri megah dengan aura menyeramkan. Lokasinya berada di Pasar Besar dan dikenal sebagai Markas Besar Kempetai Jepang.
Entah sudah berapa banyak kekejaman yang terjadi di dalamnya, tapi pada tanggal tersebut, ia sudah tidak berdaya lagi.
Sekelompok massa tampak mengepung markas itu. Soehario Padmodiwirio atau yang juga dikenal dengan nama Hario Kecik tampak sigap. Senapan di tangan, pistol revolver di pinggang, Hario berada di bagian belakang kompleks. Bersiap untuk menyerang.
Di belakangnya massa dan pemuda mulai berdatangan. Mereka bukanlah pasukan terlatih. Hanya sekelompok Arek Suroboyo yang ingin berjuang mempertahankan kemerdekaan. Tidak ada senapan berat. Hanya golok, sangkur, dan bambu runcing.
"Maju..."Â Teriak Hario Kecik.
Bunyi tembakan bertubi-tubi datang dari arah gedung. Beberapa prajurit dan rakyat tampak berjatuhan. Hario berhasil selamat. Ia berada di posisi aman, merapat di tembok Markas Kempetai.
Hario kemudian mengambil sangkurnya. Bersiap untuk pertarungan jarak dekat dengan pasukan Jepang yang masih bertahan di dalam gedung.
"Jangan tembak, jangan tembak," teriakan terdengar dari mana-mana. Tidak ada lagi bunyi bising meletus. Pihak Kempetai sudah sudah siap berunding. Gencatan senjata sementara pun diberlakukan.
Di saat tenang, Hario baru sadar bahwa ia bukanlah siapa-siapa. Ia hanyalah seorang prajurit kecil di tengah rakyat. Tidak ada komandan atau pemimpin. Yang ada hanya niat untuk mengalahkan musuh.