Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jenderal Moersjid yang Hilang di Tengah Arus Deras Soekarno-Soeharto

15 Mei 2021   07:04 Diperbarui: 15 Mei 2021   08:10 5380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jenderal Moersjid yang Hilang di Tengah Arus Deras Soekarno-Soeharto (historia.id)

Ia bisa saja menjadi pahlawan revolusi yang ke-8, jika tetangganya Kolonel dr. Sulaiman tak berbohong.

Tanggal 30 September 1965, puluhan anggota Tjakrabirawa nyasar ke rumahnya untuk mencari Jenderal Moersjid.

"Jenderal Moersjid sedang ke Kalimantan," ujar dokter Sulaiman setelah merasa adanya keanehan dengan penjemputan tersebut.

Keesokan harinya barulah dokter Sulaiman berkunjung ke rumah Jenderal Moersjid dan menceritakan kejadian semalam. Kisah ini juga yang menjawab spekulasi mengapa Moersjid tidak masuk dalam daftar perwira tinggi yang diculik oleh PKI.

Kala itu, jabatan Moersjid cukup tinggi. Besar sebagai tentara dengan pengalaman tempur yang mumpuni, jabatan terakhirnya di masa pemerintahan Soekarno adalah Deputi I Bidang Operasi Menpangad.

Bisa dikatakan Moersjid adalah orang nomor dua setelah Jenderal Ahmad Yani di jajaran Angkatan Darat. Sebelum penculikan para Jenderal terjadi, sempat terbersit kabar bahwa Soekarno ingin mengangkat Moersjid sebagai Menpangad menggantikan Ahmad Yani.

Kondisi genting di tahun 1965 menyebabkan hubungan Soekarno dan Ahmad Yani merenggang. Soekarno memerintahkan Ahmad Yani untuk datang menemuinya, tapi semua itu tak pernah terjadi. Ahmad Yani telah gugur bersama enam pahlawan revolusi lainnya. 

Baca juga: Ahmad Yani Mungkin Presiden RI, Jika Soekarno Tak Pernah Mengungkapkan Keinginannya

Saat Kolonel Sulaiman masih berada di rumah Moersjid, datang seorang perwira yang membawa pesan dari Soekarno. Isinya adalah perintah bagi Moersjid untuk segera menghadap Presiden.

Namun, begitu mendekati kawasan Istana, segerombolan pasukan tanpa identitas mencegat mobil Moersjid. Sang Jenderal turun dari mobil dan menampar komandan pasukan peleton tersebut. Untungnya ia tidak ditembak.

Dalam situasi genting, Jenderal Moersjid memerintahkan supirnya menuju markas Kostrad yang tak jauh dari istana. Belakangan baru diketahui jika pasukan tersebut adalah anak buah Letkol Untung, Batalion I Tjakrabirawa.

Sesampainya di markas Kostrad, Moersjid bertemu dengan Soeharto yang sedang bersama Kasab AH. Nasution yang sedang terluka kakinya. Mereka pun lanjut berdiskusi mengenai kondisi ibu kota saat itu.

Sore harinya, Moersjid diantar oleh Letkol Herman Sarens Sudiro ke rumahnya dengan mengendarai panser.

Baca juga: Herman Sudiro, Jenderal di Era Soeharto yang Bersinar Tidak Pada Tempatnya

Juru Bicara Perwira Tinggi di Hadapan Bung Karno

Keesokan harinya, Moersjid dipanggil oleh Bung Karno dan sejumlah perwira tinggi dan Menteri lainnya ke Istana Bogor. Di Istana Bogor, Moersjid yang bertindak sebagai juru bicara tidak resmi kontingen tersebut. Tersebab ialah yang paling banyak berbicara.

Moersjid menyampaikan ke Soekarno jika banyak pihak dalam Angkatan Darat yang tak setuju jika Mayjen Pranoto Reksosamudro, Asisten III Menpangad yang ditunjuk sebagai pengganti Jenderal Yani.

Ia juga tak memperbolehkan Panglima Tertinggi sekaligus menjabat sebagai Menpangad, ketika Soekarno menyatakan keinginannya untuk memimpin langsung Angkatan Darat.

Bahkan dalam rapat di Istana Bogor, Jenderal Moersjidlah yang memberikan senjata hasil sitaan RPKAD ke Soekarno sebagai bukti kejadian pemberontakan di RRI. Bukan Soeharto, seperti pada film G30S PKI yang ramai beredar.

Dua minggu sesudahnya, Jenderal Soeharto kemudian diangkat menjadi Menpangad menggantikan Ahmad Yani. Moersjid tetap berada di posisinya, sebagai orang nomor dua di Angkatan Darat.

Baca juga: Kisah Poligami Jenderal di Era Soekarno, Libatkan Ahmad Yani, Isukan Sarwo Edhie.

Menolak Perintah Supersemar

Suatu waktu Soeharto yang menjabat Menpangad kemudian meminta Moersjid pergi bersama tiga perwira tinggi lainnya menghadap Soekarno. Tujuannya meminta surat tugas yang kemudian dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret.

Moersjid menolaknya. Ia berkata, "Ngapaian aku harus ikut." Ujar Siddharta, putra Moersjid seperti yang dikutip dari sumber (detik.com).

Menjadi Duta Besar untuk Filipina dan Insiden dengan Kemenlu AS

Tanggal 10 Maret 1967, Moersjid dilantik menjadi Duta Besar Indonesia untuk Filipina. Dua hari kemudian, Soeharto ditunjuk menjadi pejabat presiden.

Dua tahun lebih bertugas di Manila, terjadilah sebuah insiden di Manila International Airport. Dalam jamuan VIP yang dihadiri para Dubes, Moersjid  dikenalkan dengan Marshall Green, Asisten Menteri Luar Negeri Amerika Serikat.

Sebelumnya, Marshal Green adalah Dubes AS untuk Indonesia pada saat meletusnya peristiwa G30S PKI.

Abdul Rasjid, putra Moersjid yang mendampingi ayahnya di ruangan tersebut mengisahkan kepada sumber (detik.com);

"Suasana yang ramai tiba-tiba menjadi hening. Moersjid tampak melotot ke arah Marshall Green. Sedetik kemudian, asisten Menlu tersebut balik badan meninggalkan ruangan."

Ternyata perselisihan tersebut ditenggarai oleh pertanyaan Marshall kepada Moersjid;

"How is the Bung doing," yang berarti "Bagaimana kabar Bung" (Bung Karno).

Moersjid langsung tersinggung atas pertanyaan Marshall yang dianggap tidak sopan dan sedikit nyeleneh. Ia balik menjawab dengan nada tinggi;

"Mr. Green, you should know better," yang berarti "Mr. Green, Anda seharusnya lebih tahu."

Dalam ingatan Moersjid, bekas Dubes AS di Indonesia ini sangat licik. Ia juga ditenggarai sebagai dalang kudeta presiden Syngman Rhee di Korea Selatan. Sangat mudah mencurigai Marshall dan keterlibatan AS. Aksinya di Korsel memiliki pola yang hampir sama dengan gerakan Anti Soekarno di Indonesia.

Moersjid bahkan berkata kepada Rasjid, anaknya; "Jika Green memukul, saya sudah siap melemparnya ke tembok."

Baca juga: Perselisihan Jenderal Nasution dan Hartini, Istri Kedua Soekarno yang berbuntut Penyesalan

Jenderal yang Tak Pernah Mau Berada di Belakang Meja

Saat itu, Moersjid sadar jika karirnya akan segera berakhir. Dugaannya betul. Beberapa hari kemudian, datanglah Adam Malik sebagai utusan khusus Menteri Luar Negeri. Isinya meminta Moersjid kembali ke Jakarta untuk konsultasi.

Nyatanya, ia diminta untuk menjadi saksi bagi pengadilan Soekarno, tapi Moersjid menolaknya.

Moersjid kemudian harus menghadapi segala bentuk interogasi yang bersifat intimidasi. Moersjid dituduh macam-macam. Ia dinilai punya hubungan khusus dengan Soekarno. Ia disuruh bersaksi atas isu rumah yang dibeli Soekarno untuk seorang wanita di Manila.

Rumah yang ia tempati di Filipina disebutkan sebagai milik Soekarno. Padahal itu adalah rumah milik mantan Presiden Filipina, Jose P Laurel.

Baca juga: Amelia De La Rama, Artis Filipina, dan Misteri Cinta Soekarno yang ke-10

Moersjid juga disebut punya kaitan dengan PKI dan berada di Pangkalan Udara Halim pada tanggal 1 Oktober 1965. Dalam kenyataannya di tanggal tersebut ia sedang bersama Soeharto sampai sore hari.

Moersjid melakukan pembelaan diri. Baginya, Soekarno adalah panglima tertinggi angkatan bersenjata. Ia hanya patuh kepada perintah komando militer.

Moersjid memang adalah seorang prajurit sejati. Ia berada di garis depan pada saat penumpasan PKI di Madiun tahun 1948. Ia juga yang ditunjuk sebagai Komandan Operasi Merdeka melawan Pemberontakan Permesta di Sulawesi Utara.

Moersjid juga menjadi saksi tatkala Laksamana Yos Sudarso gugur dalam pertempuran Laut Aru. Saat itu Moersjid berada di KRI Harimau bersama Soedomo.

Ditangkap dan Dipenjara

Petang hari, tanggal 8 Desember 1969. Berpakaian seragam lengkap dengan bintang dua tersemat di pundak, dengan gagahnya Moersjid menemui Komandan CPM di Rutan Militer Utomo.

"Saya mau masuk," ujarnya kepada komandan jaga tersebut.

Di pagi harinya ia telah dipanggil menghadap Jenderal Umar Wirahadi Kusumah, yang kala itu menjabat sebagai Kasad. Di Markas Besar AD, keduanya duduk berhadapan.

Moersjid membaca surat yang disodorkan kepadanya dengan hati-hati. Isinya adalah berita acara penahanan dirinya. Tampaknya, Jenderal Umar sudah tidak sabar. Ia mengambil pulpennya dan dilemparkan ke arah Moersjid.

Jelas Moersjid tersinggung dan melempar pulpen itu kembali. Tintanya berceceran di baju Umar. Ia kemudian mengambil pulpennya sendiri dan menandatangani surat penahanannya.

Pada saat insiden itu terjadi, Moersjid dengan nada tinggi kepada Umar.

"Umar, kamu di mana pada saat teman-teman gue diculik."

Pada saat peristiwa G30S PKI, Jenderal Umar menjabat sebagai Panglima Kodam V Jaya. Moersjid marah kepadanya karena menganggap Umar tidak melakukan banyak hal pada saat 6 Jenderal dan seorang Letnan merenggang nyawa di Lubang Buaya.

Sempat Ingin Menjadi Satpam

Selama hampir empat tahun lamanya, Moersjid selalu berpindah-pindah kurungan. Menurut anak-anaknya, sebenarnya Soeharto telah menandatangani surat rehabilitasi Moersjid pada akhir 1970. Namun, ia baru bebas pada 1973.

Selama berada dalam tahanan, Siti Rachmah istri Moersjid bekerja banting tulang menjual roti menghidupi keluarga dengan enam orang anak. Setelah bebas dari penjara, kehidupan Moersjid tidak lebih baik.

Ia dipensiunkan dengan pangkat Mayor Jenderal pada usia 48 tahun. Terlalu dini untuk ukuran perwira aktif militer. Ekonomi keluarganya carut marut. Moersjid bahkan pernah ingin melamar menjadi satpam, karena tiada pekerjaan pas yang bisa dilakoninya.

Akhir Hidup Sang Jenderal

Ada isu yang berkembang bahwa ia termasuk perwira yang dibersihkan karena dekat dengan Soekarno. Tapi, jika memang demikian, maka seharusnya tanpa ragu Soekarno langsung menunjuknya meggantikan Ahmad Yani.

Moersjid bukanlah orang Soekarno, bukan juga orang Ahmad Yani, Nasution, apalagi Soeharto. Ia adalah perwira militer netral yang selalu siap menerima perintah.

Moersjid selalu berkata, ia adalah contoh terbaik untuk "The Right Man in The Wrong Place." (historia.id)

Jenderal Moersjid wafat pada tahun 2008. Atas permintaan dirinya, ia tak ingin dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Ia lebih memilih dimakamkan sebagai rakyat biasa.

Menurut anak-anaknya, hanya satu hal yang masih menyisakan misteri bagi sang Jenderal. Ia penasaran, siapakah yang ingin menahan dirinya? Apakah itu adalah permintaan dari dalam atau dari luar?

Pertanyaan tersebut akan terus berada di sana. Tak satupun yang bisa memberikan jawaban. Semuanya hening terbawa dalam arus besar sejarah bangsa ini.

Referensi: 1 2 3 4

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun