Diyakini ada sekelompok pihak yang tidak ingin mengungkapkannya. Mereka ingin menjadikan Kasus Mei 1998 sebagai tumbal reformasi yang harus ada.
Tim TGPF tak pantang menyerah, kendati harus bekerja di bawah ancaman dan teror yang berbahaya dan nyata. Tim menjelaskan dalam sebuah konferensi pers, bahwa mereka kerap menerima pesan ancaman, yang isinya akan dihabisi bila tidak segera menghentikan investigasi atas kasus perkosaan Mei 98.
Setelah menemukan angka, tugas selanjutnya adalah mencari korban yang ingin bersaksi. Tapi, langkah ini tidak mudah. Sebagian korban telah kabur ke luar negeri, sebagian lagi memilih untuk menutup tragedi.
Tapi tidak sedikit juga yang mendapatkan ancaman dari pihak anonim. Bahkan harus kehilangan nyawa karena bunuh diri. Salah satu contohnya adalah seorang anak perempuan yang masih berusia 13 tahun.
"Pamannya melaporkan bahwa ia adalah korban. Begitu laporan muncul, banyak tekanan datang bertubi-tubi. Tidak tahan, keluarga memutuskan memberikan racun serangga kepada si anak."
Si anak wanita yang bertempat tinggal di Kemayoran Jakarta tidak meninggal karena perkosaan, tapi karena dibunuh oleh keluarga yang tak mampu menerima tekanan.
Dalam kondisi yang hampir gelap, muncullah seorang anak gadis berusia 18 tahun. Ia adalah salah satu korban. Tapi, dirinya tak sama dengan gadis-gadis lainnya. Ia mau menjadi saksi, bahkan masuk sebagai anggota relawan dalam tim pencari fakta.
Ita Martadinata Haryono namanya. Kelahiran tahun 1980 dan merupakan seorang siswi kelas 3 SMA Paskalis Jakarta. Merupakan perwakilan yang paling tepat dari golongan Triple Minority: Wanita, Tionghoa, dan Non-Muslim.
Seharusnya Ita beserta rombongan akan memberi kesaksian di hadapan kongres PBB, pembela hak asasi Inernasional pada tanggal 13 Oktober 1998.
Namun, empat hari sebelum keberangkatannya ke New York, tepatnya pada tanggal 9 Oktober 1998, Ita mengalami kejadian mengerikan.