Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengenang Ita Martadinata, Korban dan Saksi Perkosaan Mei 98

14 Mei 2021   04:09 Diperbarui: 14 Mei 2021   04:13 16544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mengenang Ita Martadinata, Korban dan Saksi Perkosaan Mei 98 (rappler.com)

Hari ini, dua puluh tiga tahun yang lalu dikenal sebagai momen reformasi. Menandai akhirnya era orde baru yang dikomandoi oleh presiden Soeharto. 

Kerusuhan Mei 1998 masih menyimpan duka dan misteri yang belum terungkap. Dimulai dengan penembakan mahasiswa Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998, dan berlanjut dengan kerusuhan massal pada tanggal 15/16 Mei 1998.

Desas-desus kasus pemerkosaan terhadap wanita Tionghoa terdengar nyaring pada saat itu. Tapi, hingga kini berakhir tanpa jejak pasti.

Bagaikan kisah legenda Kuntilanak. Diyakini, tapi tidak bisa dibuktikan. Begitu pula dengan rekam jejak dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) pimpinan Romo Sandyawan. Berjuang sendiri melawan kasus yang hanya dianggap sekedar gosip.

Bahkan Presiden Habibie disaat itu juga tidak sepenuhnya yakin. Apakah pemerkosaan massal kepada wanita etnis Tionghoa benar-benar terjadi? Meskipun pada akhirnya beliau juga yang membentuk dan meresmikan TGPF pada tanggal 23 Juli 1998.

Banyak PR yang harus diselesaikan oleh Romo Sandyawan dan timnya. Seyogyanya tugas mereka mengungkap beberapa pertanyaan yang mendasar, seperti;

Siapakah korbannya? siapakah pelakunya? Di mana? Kapan? Siapa saksinya? Dan yang terpenting, apakah memang ada?

Setelah beberapa bulan bekerja, tim ini menemukan beberapa fakta yang mencengangkan. Ada 82 korban kasus kekerasan seksual, dan 52 diantaranya adalah korban pemerkosaan.

kerusuhan Mei 98 (bbc.com)
kerusuhan Mei 98 (bbc.com)
Ini belum termasuk laporan dari Komnas Perempuan dan Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRUK). Jika ditotal, maka korban yang ditemukan mencapai ratusan.

Sedari awal pembentukan TGPF memang politis. Terbentuk atas desakan pihak asing yang mendesak pemerintahan baru paska Soeharto. Mereka ingin mengungkap pelanggaran HAM di hari naas tersebut.

Hal ini kemudian membuat kerja TGPF tidak hanya sekedar tentang kemanusiaan, tapi juga politik.

Diyakini ada sekelompok pihak yang tidak ingin mengungkapkannya. Mereka ingin menjadikan Kasus Mei 1998 sebagai tumbal reformasi yang harus ada.

Tim TGPF tak pantang menyerah, kendati harus bekerja di bawah ancaman dan teror yang berbahaya dan nyata. Tim menjelaskan dalam sebuah konferensi pers, bahwa mereka kerap menerima pesan ancaman, yang isinya akan dihabisi bila tidak segera menghentikan investigasi atas kasus perkosaan Mei 98.

Setelah menemukan angka, tugas selanjutnya adalah mencari korban yang ingin bersaksi. Tapi, langkah ini tidak mudah. Sebagian korban telah kabur ke luar negeri, sebagian lagi memilih untuk menutup tragedi.

Tapi tidak sedikit juga yang mendapatkan ancaman dari pihak anonim. Bahkan harus kehilangan nyawa karena bunuh diri. Salah satu contohnya adalah seorang anak perempuan yang masih berusia 13 tahun.

Romo Sandyawan, ketua tim TGPF (rmol.id)
Romo Sandyawan, ketua tim TGPF (rmol.id)
Tim Relawan untuk Kekerasan Terhadap Perempuan, Ita F. Nadia melaporkan;

"Pamannya melaporkan bahwa ia adalah korban. Begitu laporan muncul, banyak tekanan datang bertubi-tubi. Tidak tahan, keluarga memutuskan memberikan racun serangga kepada si anak."

Si anak wanita yang bertempat tinggal di Kemayoran Jakarta tidak meninggal karena perkosaan, tapi karena dibunuh oleh keluarga yang tak mampu menerima tekanan.

Dalam kondisi yang hampir gelap, muncullah seorang anak gadis berusia 18 tahun. Ia adalah salah satu korban. Tapi, dirinya tak sama dengan gadis-gadis lainnya. Ia mau menjadi saksi, bahkan masuk sebagai anggota relawan dalam tim pencari fakta.

Ita Martadinata Haryono namanya. Kelahiran tahun 1980 dan merupakan seorang siswi kelas 3 SMA Paskalis Jakarta. Merupakan perwakilan yang paling tepat dari golongan Triple Minority: Wanita, Tionghoa, dan Non-Muslim.

Seharusnya Ita beserta rombongan akan memberi kesaksian di hadapan kongres PBB, pembela hak asasi Inernasional pada tanggal 13 Oktober 1998.

Namun, empat hari sebelum keberangkatannya ke New York, tepatnya pada tanggal 9 Oktober 1998, Ita mengalami kejadian mengerikan.

Ita ditemukan terbunuh di dalam kamar tidur rumahnya sendiri. Darahnya berceceran di mana-mana. Tubuhnya dalam keadaan telanjang. Lehernya hampir putus, dan kemudian di duburnya tertancap kayu pasak.

Sebelum dibunuh, Ita diduga diperkosa di dalam kamarnya sendiri. Dari hasil visum, di tubuh Ita ditemukan 10 luka tikaman. Biadab!

Toko warga tionghoa yang dirusak massa dalam kerusuhan mei 98 (pinterpolitik.com)
Toko warga tionghoa yang dirusak massa dalam kerusuhan mei 98 (pinterpolitik.com)
Ita memang berbeda. Ia sudah siap dan sudah dilatih mengenai cara bersaksi di depan kongres PBB. Tiket dan paspornya pun sudah siap. Tapi, nasib berkata lain.

Ita adalah martir. Ia dibunuh, karena diduga sebagai tokoh kunci pengungkapan kasus perkosaan Mei 98. Ada pihak yang tak ingin itu terjadi.

TGPF yakin jika kasus pembunuhan kejam terhadap Ita adalah murni politis. Tapi, aparat intel dan polisi berkata berbeda.

Romo Sandyawan bersaksi pada saat tiba di RSCM, tempat jenasah Ita berada;

"[...] Tubuh Ita sudah dijahit sejak di TKP. Kamarnya sudah ditata oleh intel. Jenasah sudah dikenakan kaos hitam. Dengan mudah menuduh pelakunya sebagai seorang yang biasa melakukan sodomi. [...].

Pihak kepolisian pun dengan cepat menyimpulkan bahwa Ita dibunuh oleh Suryadi, tetangganya sendiri. Suryadi dideskripsikan sebagai seorang pecandu narkoba yang hendak merampok rumah Ita.

Namun, di mana rumah Suryadi hingga bagaimana nasibnya, tidak ada yang mengetahuinya. Bahkan media pun tak banyak mengungkap kejadian tersebut. Kasus Ita pun di-SP3 kan, dan dianggap sebagai kriminal murni.

Sejak saat itu, tim TGPF dan saksi lainnya tahu bahwa kejadian Ita adalah bentuk teror nyata dari sekelompok orang yang sangat berbahaya di negeri ini.

Beberapa bulan setelah kasus pembunuhan Ita, adalah Bernadinus Realino Norma Irawan, rekan satu tim Ita di tim pencari fakta. Ia tewas ditembak di halaman depan kampusnya, Atma Jaya pada tanggal 13 November 1998. Kasusnya juga "hilang" begitu saja.

Bernadinus Realino Norma Irawan bersama kawan-kawannya (tionghoa.info)
Bernadinus Realino Norma Irawan bersama kawan-kawannya (tionghoa.info)
Kematian Ita dan Bernadinus menjadi pukulan telak bagi tim relawan. Tim sadar, apa yang mereka hadapi adalah sesuatu yang jauh lebih mengerikan dari apa yang mereka sangka.

Ita F. Nadia, memberikan pernyataan;

"Kasus Ita Martadinata menghentikan seluruh proses penyelidikan kejadian Mei 98. Jadi, kami menyimpulkan bahwa pembunuhan terhadap Ita adalah pesan jelas bagi siapa saja yang akan bicara tentang siapa pemerkosanya. Mereka akan dibantai kayak Ita."

Ita sudah tidak ada. Meninggal dunia di usianya yang masih sangat muda. Namun, namanya akan selalu dikenang sebagai pejuang hak asasi manusia yang lantang menyuarakan keadilan.

Keruntuhan Soeharto menyisakan kenangan pahit. Kematian empat mahasiswa Trisakti, hingga ratusan korban kerusuhan massal adalah bagian dari salah satu sejarah terkelam bangsa ini.

Setelah 22 tahun berlalu, belum ada langkah serius dari pemerintah untuk mengungkap hal ini. Jelas semuanya akan terus menyisakan luka mendalam bagi negeri.

Mungkin kita harus menerima kenyataan bahwa apa yang telah berlalu, sebaiknya berlalulah.  

Tidak semuanya juga menyisakan kesedihan. Ada setitik cerah harapan yang bisa kita ambil dari pelajaran ini. Pelaku kerusuhan dan pemerkosaan bukanlah bangsa Indonesia. Karena seorang Indonesia tidak akan pernah melakukan perbuatan sekeji ini.

Rest In Peace, Ita Martadinata Haryono. Semoga arwahmu terlahir di alam yang lebih baik. Semoga engkau selalu tenang berada di sisi-Nya. Semoga perjuanganmu tidak sia-sia dengan menjadikan bangsa ini lebih menghargai toleransi dan perbedaan.  

Referensi: 1 2 3 4 5 6

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun