Tanggal 30 September 1965, Yani dijemput oleh Tjakrabirawa, Pasukan Pengawal Presiden.
Yani tidak pernah curiga, karena rencana bertemu presiden sebelumnya memang sudah ada. Ketika Yani ingin mengganti baju, salah satu bintara Tjakrabirawa membentak;
"Tak usah ganti baju, Jenderal."
Yani marah dan menempeleng sang bintara. Selangkah kemudian, bunyi tembakan senapan mesin terdengar dari rumahnya. Jenderal Ahmad Yani tersungkur bersimbah darah.
Tubuhnya diseret, dan dibawa ke Lubang Buaya. Lima Jenderal lainnya dan satu Letnan juga berada di sana. Memulai sekaligus mengakhiri salah satu episode tergelap dalam sejarah Indonesia.
Gugurnya Ahmad Yani ternyata memberikan pukulan telak bagi Soekarno. Di depan makam Ahmad Yani, Soekarno menangis hebat. Meskipun hubungannya dengan sang Jenderal sudah renggang, tapi bagi Soekarno, Ahmad Yani tetap adalah jenderal pilihannya.
Soekarno memiliki keinginan yang tidak akan pernah kesampaian. Tidak banyak yang tahu jika Sang Putra Fajar ternyata menginginkan Ahmad Yani menjadi penggantinya, jika kesehatannya sudah memburuk.
Bahkan Soekarno sempat menyatakan hal tersebut dalam sebuah pertemuan di depan Nasution, Sarwo Edhie, Soebandrio, dan Chaerul Saleh.
Mungkin saja itu adalah kesalahan terbesar dari seorang Soekarno.
Mungkin saja penculikan Ahmad Yani adalah skenario besar suksesi republik ini.
Mungkin saja itu adalah bagian dari konspirasi Dewan Jenderal yang tak pernah ada.