Angkatan Darat RI pernah diterpa isu tidak menyenangkan. Para Jenderalnya menjalani gaya hidup hedon dan berpoligami di era Soekarno.
Baca juga: Kisah Poligami Jenderal, Libatkan Ahmad Yani Isukan Sarwo Edhi
Namun, tidak semua juga berperilaku demikian. Adalah Jenderal Abdul Harris Nasution yang memiliki prinsip yang sangat kuat. Baginya, berpoligami adalah haram.
Nasution bahkan pernah mengeluarkan aturan pada saat menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad). Terkait bawahannya yang sudah terlanjur, pilihannya hanya dua:
Melepaskan istri kedua dan naik pangkat, atau meninggalkan korps AD.
Letkol Dahyar yang sering gonta-ganti istri pun menjadi korbannya. Dicopot dari jabatannya di Divisi Siliwangi.
Tidak banyak yang menyukai sikap Nasution yang terkesan puritan ini. Salah satunya adalah Soekarno sendiri. Catur politik pun dimainkan. Nasution diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Bersenjata (Kasab), sementara posisi Kasad diberikan kepada Ahmad Yani.
Secara promosi, jabatan Nasution memang lebih tinggi, tapi secara kewenangan, ia dikebiri. Posisi Kasab hanya mengurus administrasi saja.
Menurut catatan Soe Hok Gie yang tertuang dalam buku Catatan Seorang Demonstran (1983), Ahmad Yani bukanlah tipikal jenderal mata keranjang. Namun, sejak menjabat sebagai Panglima TNI, Yani tergoda.
Ia dikabarkan berpacaran dengan seorang anak SMA dan menikahinya. Sewaktu Yani gugur, janda istri keduanya dinikahi oleh Brigjen Herman Sudiro
Baca juga:Â Herman Sudiro, Jenderal Promotor Tinju dan Bintang Film
Sikap Nasution yang anti poligami tidak pandang bulu. Jenderal yang terkenal tegas dan blak-blakan ini malah mencurahkannya kepada istri kedua Soekarno, Hartini.
Baginya, istri kedua bukanlah First Lady yang sahih.
**
Suatu waktu Soekarno melontarkan pertanyaan kepada Nasution dalam bahasa Belanda, yang terjemahannya adalah sebagai berikut;
"Hei Nas, kapan kau datang makan siang denganku?"
Makan siang di Istana Bogor berarti jamuan kepada Nasution dan istrinya yang disambut oleh Soekarno dan dihadiri Hartini.
Pertanyaan tersebut membuat Nasution kebingungan. Sebenarnya ia tidak punya masalah duduk semeja dengan Soekarno dan Hartini. Masalahnya ia tidak menjamin istrinya, Johana Sunarti akan hadir.
Undangan oleh Soekarno tersebut dilayangkan tidak lama setelah terjadi perubahan posisi di tubuh Angkatan Darat. Pesan yang ingin disampaikan oleh Soekarno cukup jelas. Janganlah mencampuri urusan pribadiku!
Tersebab Soekarno merasa sangat terganggu dengan aksi Nasution yang melibatkan Persatuan Istri Tentara (Persit)Â yang menjadikan perintah larangan poligami dari Nasution sebagai pedoman.
Bahkan pedoman tersebut juga turut menyentuh posisi ibu negara. Persit hanya mengakui istri pertama presiden sebagai First Lady. Predikat itu tetap melekat pada Fatmawati, kendati ia memilih minggat dari Istana.
Pernikahan Soekarno dan Hartini memang sempat bikin kisruh negara. Kendati  Hartini telah "diasingkan" ke Istana Bogor, gunjingan tetap saja terjadi.
Persatuan Istri Tentara (Persit) menolaknya, Kongres Wanita Indonesia (Kowani) dan Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari) berunjuk rasa. Gerakan Wanita (Gerwani) bahkan mendatangi rumah Hartini di Salatiga. Jendela rumahnya dilempari.
Beberapa media terbitan ibu kota turut meramaikan. Harian Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis dan Harian Pedoman yang dinahkodai Rosihan Anwar turut melancarkan kampanye anti pernikahan Hartini-Soekarno.
Soekarno marah, tapi tidak banyak yang bisa ia lakukan.
**
Namun, sebuah fakta lain terkuak setelah Soekarno lengser. Seorang perwira Korps Polisi Militer yang memeriksa Soekarno melaporkan kepada Nasution bahwa telah ada perceraian antara Soekarno dan Fatmawati pada tahun 1958, tapi tidak pernah diumumkan.
Ironisnya, jika hal tersebut benar, maka seharusnya Hartini adalah Ibu Negara yang sahih. Sikap Nasution terhadap Hartini kemudian berubah setelah kejadian tersebut. Menjadi lebih hormat dan bersahabat.
Soekarno dikucilkan selama di masa tuanya. Ia diisolasi di Wisma Yaso. Adalah Hartini yang senantiasa membesuknya dan menemaninya.
Terlepas dari aksi mengawini beberapa wanita lagi setelah Hartini, hingga akhir hayat hidupnya, Hartini lah yang setia menemani Sang Proklamator yang wafat di tahun 1970.
**
Setelah ditinggal Soekarno, Hartini hidup bersama kedua putranya, Taufan dan Bayu. Untuk menafkahi kedua anaknya, Hartini membuka warung kecil-kecilan. Namun, pendapatannya tidak cukup, hingga ia harus menjual berbagai jenis barang warisan Soekarno.
Di tahun 1980, negara akhirnya memberikan perhatian lewat santunan dana pensiun kepada Hartini sebagai janda presiden. Hartini terus hidup menjanda hingga meninggal pada 12 Maret 2002.
Dalam memoarnya, Rachmawati Soekarno Putri mengenang Hartini sebagai sosok yang setia. Ia menuliskan;
"Ia setia kepada Bapakku, baik dalam masa jaya hingga pada kejatuhannya. Betapa pun kemarahan yang kurasakan di masa lalu, faktanya adalah Bu Hartini menemani Bapak hingga akhir hayat."
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H