Persatuan Istri Tentara (Persit) menolaknya, Kongres Wanita Indonesia (Kowani) dan Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari) berunjuk rasa. Gerakan Wanita (Gerwani) bahkan mendatangi rumah Hartini di Salatiga. Jendela rumahnya dilempari.
Beberapa media terbitan ibu kota turut meramaikan. Harian Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis dan Harian Pedoman yang dinahkodai Rosihan Anwar turut melancarkan kampanye anti pernikahan Hartini-Soekarno.
Soekarno marah, tapi tidak banyak yang bisa ia lakukan.
**
Namun, sebuah fakta lain terkuak setelah Soekarno lengser. Seorang perwira Korps Polisi Militer yang memeriksa Soekarno melaporkan kepada Nasution bahwa telah ada perceraian antara Soekarno dan Fatmawati pada tahun 1958, tapi tidak pernah diumumkan.
Ironisnya, jika hal tersebut benar, maka seharusnya Hartini adalah Ibu Negara yang sahih. Sikap Nasution terhadap Hartini kemudian berubah setelah kejadian tersebut. Menjadi lebih hormat dan bersahabat.
Soekarno dikucilkan selama di masa tuanya. Ia diisolasi di Wisma Yaso. Adalah Hartini yang senantiasa membesuknya dan menemaninya.
Terlepas dari aksi mengawini beberapa wanita lagi setelah Hartini, hingga akhir hayat hidupnya, Hartini lah yang setia menemani Sang Proklamator yang wafat di tahun 1970.
**
Setelah ditinggal Soekarno, Hartini hidup bersama kedua putranya, Taufan dan Bayu. Untuk menafkahi kedua anaknya, Hartini membuka warung kecil-kecilan. Namun, pendapatannya tidak cukup, hingga ia harus menjual berbagai jenis barang warisan Soekarno.
Di tahun 1980, negara akhirnya memberikan perhatian lewat santunan dana pensiun kepada Hartini sebagai janda presiden. Hartini terus hidup menjanda hingga meninggal pada 12 Maret 2002.