Herman Sudiro harusnya memiliki banyak peluang di era Soeharto. Menjadi ajudan Jenderal Ahmad Yani dan kemudian Soeharto, membuat karirnya melonjak dengan cepat.
Sayangnya, mantan tentara pelajar ini salah memilih aliansi. Bersahabat karib dengan Jenderal Soemitro yang merupakan "sosok pesaing Soeharto," membuat Herman akhirnya "didubeskan."
Baca juga: Herman Sudiro, Jenderal di Era Soeharto yang Bersinar Tidak Pada Tempatnya
Pada saat sedang mesra-mesranya dengan Soeharto, Letjen Herman Soediro memperoleh tanah hibah seluas hampir 3 hektar di Jalan Warung Buncit, Mampang, Jakarta.
Hobi berkuda membuat Herman menjadikan lahan strategis itu sebagai istal yang bisa menampung banyak kuda.
Dalam otobiografinya, "Ancemon Gula Pasir: Budak Angon jadi Opsir,"Â Herman mengakui tanah tersebut diperoleh atas arahan Soeharto yang baru saja menjadi pejabat Presiden.
Di lahan itu, Herman mendirikan Djakarta International Sadie Club (DISC). Tempat gelanggang pacuan kuda yang sangat bergengsi. Saat itu perkumpulan berkuda belum terlalu banyak, dan masih menjadi olahraga yang bergengsi.
Belakangan, Herman mengganti nama DISC menjadi Satria Kinayungan, yang merupakan nama kuda putih Pangeran Diponegoro.
Satria Kinayungan tidak hanya menjadi arena berkuda, dalam perjalanannya, tempat ini menjadi tempat yang sangat bergengsi bagi orang kalangan atas untuk menyalurkan hobinya.
Tanah seluas hampir 3 hektar itu disulap menjadi sasana tinju, klub berburu, hingga klub sosialita di masanya. Para tamunya dari berbagai kalangan elit. Mulai dari pejabat pemerintah, perwira tinggi, selebritis, pebisnis papan atas, hingga keluarga cendana.
"Semua orang tahu bahwa Satria Kinayungan adalah Herman Sarens," ungkap Herman kepada Restu Gunawan, penulis otobiografinya.
Kendati demikian, Herman lebih dikenal sebagai promotor tinju kelas dunia. Di masanya, tidak ada seorang pun yang menggeluti pekerjaan tersebut.
Rasa cinta Herman pada olahraga bertinju, sedikit banyak memberikan nama besar bagi Indonesia. Herman suka membawa petinju binaannya bertanding ke mancanegara.
Ia juga yang pertama membuat pertandingan internasional di Indonesia. Tujuannya agar petinju di Indonesia bisa dikenal di forum internasional.
Pertandingan tinju antara Saoul Mamby (Amerika Serikat) dan Thomas Americo (Indonesia) adalah karya Herman Sudiro.
Saat itu Thomas Americo berpeluang untuk merebut sabuk WBC Super Ringan dari tangan Mamby. Sayangnya dia kalah. Mamby menang angka 147-139, 146-141, 146-146.
Thomas Americo adalah salah satu petunju asuhan Herman yang bersinar. Total petinju yang diasuhnya hingga tahun 1992, telah mencapai 100an petinju.
Herman memiliki jiwa sosial yang besar. Petinju asuhannya banyak yang berasal dari bekas preman, tukang pukul, hingga pembunuh. Apa yang dilakukan Herman telah mengubah kehidupan bagi petinju asuhannya.
Satria Kinayungan juga terbuka untuk umum. Penduduk di sekitar lokasi bebas menggunakan fasilitas di sana. Mulai dari lapangan badminton atau hanya sekedar melihat orang berlatih menunggang kuda.
Selain itu, Herman Sudiro mungkin satu-satunya perwiran militer yang terjun sebagai bintang film di Indonesia. Tercatat 12 fim pernah ia bintangi pada dekade 80an.
Terang Bulan di Tengah Hari, Masizi, Roman Picisan, adalah sederet film Indonesia yang pernah dibitanginya.
Di usianya yang semakin tua, penampilan Herman tidak pernah redup. Ia tidak segan-segan menggunakan busana ala militer dan mengendarai Harley Davidson kesukaannya.
Herman bahkan pernah dinobatkan sebagai pria berbusana terbaik di tahun 1987 oleh Yayasan Busana Indonesia. Yayasan Kartini juga memberikannya penghargaan yang sama di tahun 2003.
Popularitasnya meningkat. Banyak produser film yang mengejarnya. Ratno Timoer dan Zoraya Perucha di antaranya. Bahkan di usianya yang sepuh, Herman masih sempat tampil sebagai bintang iklan untuk sebuah merek oli terkenal.
**
Herman Sudiro dan Satria Kinayungan mulai redup seiring dengan kejatuhan Soeharto. Masa tua Herman tidak bisa ia jalani dengan tenang. Penyebabnya adalah masalah sengketa tanah.
Pihak TNI menyorot penyalahgunaan wewenang oleh Herman saat menjadi pimpinan TNI AD di tahun 1970an. Satria Kinayungan dianggap telah dikuasai secara illegal. Herman digugat oleh TNI lantaran status kepemilikan lahannya yang dianggap belum jelas.
Tahun 2005 ia mangkir tiga kali dalam panggilan sidang Oditor Militer Jakarta. Penjemputan Herman pun sempat berjalan alot. Kediamannya dikepung oleh aparat dan cukup menyita perhatian publik kala itu. Namun, proses hukum tetap berjalan kendati kesehatan Herman sudah melemah karena faktor usia.
Herman akhirnya menyerahkan lahan tersebut kembali kepada negara. Sengketa diselesaikan dengan cara damai pada tanggal 17 Juni 2010.
Tak lama kemudian Herman meninggal pada tanggal 11 Juli 2010 dalam usia 80 tahun. Ia dikuburkan di pemakaman keluarga dan diiringi dengan upacara militer.
Seiring dengan kembalinya lahan Satria Kiyuningan dan meninggalnya Herman, Hadijah Soediro, istri Herman berkata kepada Kompas (12.07.2010).
"Jangankan hanya tanah, beliau pernah menyatakan, jiwa raganya pun demi negara," pungkas Hadijah.
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H