Setiap awal pergantian Shio, adalah hal yang wajib untuk meramal nasib. Bisa saja dianggap klenik, tapi menjaga tradisi mungkin lebih tepat.
Hoki adalah gabungan antara nasib dan usaha. Sepanjang semangat dan kerja keras berpadu, ia akan datang dengan sendirinya.
Tapi, ada Hoki ada lawannya. Chiong namanya. Digambarkan sebagai situasi yang tidak menguntungkan. Sekeras apa pun usaha, kalau udah chiong, ya apes dah.
Begitu persepsinya.
Cara melihat chiong versi Fengshui tiada bedanya dengan cara melihat hoki. Unsur tanggal, bulan, tahun, dan jam kelahiran menjadi penentu. Apakah nasib akan berkata di tahun kerbau logam ini.
Banyak jenis chiong. Saya sudah pernah membahasnya. Sila klik tulisan di bawah ini;
Baca juga: Jika Sedang "Chiong" (Sial) Bagaimana Tolak Balanya?
Pada tulisan ini, saya akan membahas satu jenis chiong yang sangat berhubungan dengan budaya China Kuno. Menarik untuk disimak.
Secara harafiah, ia adalah Dewa pelindung dari 12 Shio dan 5 Elemen. Jadi secara total setiap shio dan elemen punya Dewanya masing-masing. Jumlahnya 60 Dewa Thay Sui.
Setiap Dewa ini akan menjadi "Raja Bumi" pada urutan Shio. Jadi pada tahun ini adalah Dewa Thay Sui Kerbau-Logam yang menduduki Singasana.
Jika Shio kita Chiong dengan sang Raja, konon kemalangan akan datang menyerta. Sebagaimana Raja yang tidak suka dengan seseorang, maka ia hanya akan mendatangkan musibah dengan titahnya.
Bukan Cuma Anda, seluruh anggota keluarga pun katanya akan dipersulit. Dalam tradisi Tionghoa, memuja Dewa ini adalah cara terbaik untuk melepas kemalangan.
Begitu konsepnya.
Sejujurnya bahkan orang Tionghoa saja tidak banyak mengetahui dewa yang satu ini. Jelas kalah pamor dengan para dewa-dewi besar seperti, Dewa Perang (Kwan-kong), Dewi Welas Asih (Kwan-im), atau Dewa Harta (Chai Sen Ye).
Padahal dari sisi filsafat, keberadaan Thay Sui sangat personal. Jika bisa dikatakan, setiap orang memiliki malaikat pelindungnya sendiri (guardian angel). Dan itulah yang diharafiahkan dengan eksistensi Thay Sui dalam budaya China.
Legenda yang berkembang di masyarakat, Thay Sui adalah sekelompok dewa yang berjumlah 60. Mereka menguasai peredaran waktu. Artinya setiap orang akan terhubung. Sebabnya waktu adalah hal yang pasti.
Pemujaan terhadap para Thay Sui ditenggarai telah ada sejak zaman Dinasti Yuan (1280-1368). Adalah para Menteri dan cendekiawan yang memulai konsep ini. Dilaksanakan pada saat ada proyek penting yang akan mulai dilaksanakan.
Keruntuhan Dinasti Yuan dilanjutkan oleh pemerintahan Dinasti Ming (1368-1644). Pemujaan terhadap dewa Thay Sui bahkan semakin besar. Atas titah Kaisar Ming pertama, seluruh rakyat diwajibkan untuk melakukan pemujaan terhadapnya.
Begitu awal mulanya.
Menurut kisah, Dewa Thay Sui (Thay Sui Ye) adalah putra dari Shang Zhou Wang, Raja terakhir Dinasti Shang. Ia merupakan seorang pemimpin yang lalim.
Daji adalah selir kesayangan Raja Shang. Tapi, ia memiliki hati yang busuk. Atas hasutannya sang Raja membunuh permaisurinya sendiri, setelah melahirkan Thay Sui Ye.
Sebabnya pada saat dilahirkan, Thay Sui Ye tidaklah berbentuk manusia, melainkan gumpalan daging tak berbentuk. Merasa jijik, sang Raja menitahkan agar anaknya itu dibuang jauh dari kerajaan.
Lalu muncullah seorang pertapa. Ia memungut daging tersebut. Disobeknya dengan sebilah belati, dari dalamnya muncullah seorang bayi lelaki. Oleh sang pertapa, bayi tersebut dinamakan Yin Qiao.
Pertapa tersebut kemudian menyerahkan sang bayi kepada He Xian Gu, salah satu dari 8 dewa yang dikenal dengan julukan "The Eight Immortals." Sang dewa tersebutlah yang merawat dan membesarkan Yin Qiao.
Yin Qiao bermaksud membalas dendam. Ia meminta pertolongan dari Dewi Tian Shang Seng Mu atau yang lebih dikenal sebagai Dewi Ma-co.
Oleh Ma-co, Yin Qiao dihadiahkan dua buah senjata pusaka. Sebatang toya emas dan sebuah kapak sakti.
Yin Qiau kemudian mengabdi kepada Wu Wang, kaisar pertama Dinasti Zhou. Ia lah yang menaklukkan Raja Shang Zhou Wang, Raja terakhir Dinasti Shang.
Setelah memenangkan peperangan, atas izin Raja Wu Wang, Yin Qiau kemudian menangkap Daiji dan menghukumnya. Setelah peperangan selesai, Raja langit (Yu Huan Da Di) kemudian menganugrahkan gelar Thay Sui Ye kepada Yin Qiau.
Begitu legendanya.
Terlepas dari legenda yang beredar, banyak pihak yang mengatakan bahwa keberadaan Dewa Thay Sui adalah bagian dari filosofi China kuno.
Ia adalah istilah dalam ilmu Astronomi Tiongkok Kuno. Layaknya 12 shio yang diwakili oleh 12 karakter hewan surgawi.
Para ahli astronomi kuno mengasosiasikan wujud Thay Sui dengan kemunculan bintang besar atau Mu Xing (bintang induk) yang beredar selama dua belas tahun sekali (tepatnya 11,88 tahun). Konon bintang besar ini ditenggarai sebagai planet Jupiter.
Peredaran dari Mu Xing inilah yang menjadi dasar dari putaran 12 shio.
Para ahli astronomi juga menemukan kejanggalan dari orbit Mu Xing. Jika rasi bintang lainnya beredar dari arah timur ke barat, Mu Xing justru sebaliknya.
Hal ini membuat ambigu dalam pengamatan astronomi. Untuk memudahkan pengamatan, maka mereka menciptakan sebuah bintang abstrak yang seolah-olah di seberang Mu Xing ada sebuah bintang yang tidak kelihatan yang pergerakannya berlawanan dengan Mu Xing.
Dengan demikian maka "bintang abstrak" itu memiliki orbit yang sama dengan bintang-bintang lainnya. Para ahli astronomi kuno kemudian menamakan "bintang abstrak" tersebut sebagai Thay Sui.
Secara harafiah Thay Sui juga bisa mengartikan awal (Thay) usia (Sui). Beberapa pengamat kemudian melihat hubungan antara Thay Sui dengan konsep Dewa Bintang alias Jupiter dalam mitologi Yunani Kuno.
Jika kita mengunjungi kelenteng, maka arca Thay Sui terlihat dengan 60 patung dewa. Semuanya adalah jenderal perang, lengkap dengan nama dan senjatanya masing-masing.
Metafisika menghitung perjalanan nasib berdasarkan data empiris yang mereka catat selama ribuan tahun. Ahli metafisika adalah ilmuan zaman dulu, tetapi mereka bukanlah ahli spiritual.
Pada zaman yang sama, perhitungan sains kuno ini juga mempengaruhi budaya Taoisme di China. Taoisme adalah ajaran filsafat tentang hidup. Ritual yang dilakukan adalah bentuk pemujaan terhadap alam semesta.
Kedua ilmu (metafisika dan filsafat) ini kemudian tergabung menjadi satu. Itulah mengapa kita melihat bagaimana bintang astronomi dilambangkan dengan sosok dewa atau hewan surgawi.
Semuanya dimaksudkan agar mudah dipahami oleh rakyat biasa.
Saya sendiri termasuk orang yang percaya akan data empiris yang tersaji oleh ahli astronomi kuno. Itulah mengapa ilmu metafisika kuno seperti Bazhe atau Fengshui aku yakini. Mereka adalah bagian dari sains kuno yang masih relevan hingga zaman sekarang.
Ada pun ritual Taoisme yang menyerta harus dikembalikan kepada diri masing-masing. Keyakinan adalah milik pribadi, jika maksudnya baik, tentu hasilnya juga baik.
Apa yang diriset oleh ahli astronomi China Kuno memang benar adanya. Apa yang disarankan oleh pendeta Tao juga tidak salah. Hanya kadang pemahaman manusia saja yang kebablasan. Menghubungkan sains kuno dan filsafat menjadi takhyul.
Lebih parah lagi jika pemujaan kepada para Dewa dikonotasikan negatif. Baik dengan menakut-nakuti ataupun sebaliknya, mencibirnya. Ingat bahwa titel Dewa tidak serampangan. Apalagi kalau bukan kebaikan yang menyerta.
Makna Sesungguhnya dari Chiong Thay Sui adalah kondisi yang tidak menguntungkan. Mengubahnya harus didasari oleh daya upaya untuk memperbaiki nasib. Bukan menyerahkan diri pada takdir.
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H