Jika Shio kita Chiong dengan sang Raja, konon kemalangan akan datang menyerta. Sebagaimana Raja yang tidak suka dengan seseorang, maka ia hanya akan mendatangkan musibah dengan titahnya.
Bukan Cuma Anda, seluruh anggota keluarga pun katanya akan dipersulit. Dalam tradisi Tionghoa, memuja Dewa ini adalah cara terbaik untuk melepas kemalangan.
Begitu konsepnya.
Sejujurnya bahkan orang Tionghoa saja tidak banyak mengetahui dewa yang satu ini. Jelas kalah pamor dengan para dewa-dewi besar seperti, Dewa Perang (Kwan-kong), Dewi Welas Asih (Kwan-im), atau Dewa Harta (Chai Sen Ye).
Padahal dari sisi filsafat, keberadaan Thay Sui sangat personal. Jika bisa dikatakan, setiap orang memiliki malaikat pelindungnya sendiri (guardian angel). Dan itulah yang diharafiahkan dengan eksistensi Thay Sui dalam budaya China.
Legenda yang berkembang di masyarakat, Thay Sui adalah sekelompok dewa yang berjumlah 60. Mereka menguasai peredaran waktu. Artinya setiap orang akan terhubung. Sebabnya waktu adalah hal yang pasti.
Pemujaan terhadap para Thay Sui ditenggarai telah ada sejak zaman Dinasti Yuan (1280-1368). Adalah para Menteri dan cendekiawan yang memulai konsep ini. Dilaksanakan pada saat ada proyek penting yang akan mulai dilaksanakan.
Keruntuhan Dinasti Yuan dilanjutkan oleh pemerintahan Dinasti Ming (1368-1644). Pemujaan terhadap dewa Thay Sui bahkan semakin besar. Atas titah Kaisar Ming pertama, seluruh rakyat diwajibkan untuk melakukan pemujaan terhadapnya.
Begitu awal mulanya.
Menurut kisah, Dewa Thay Sui (Thay Sui Ye) adalah putra dari Shang Zhou Wang, Raja terakhir Dinasti Shang. Ia merupakan seorang pemimpin yang lalim.
Daji adalah selir kesayangan Raja Shang. Tapi, ia memiliki hati yang busuk. Atas hasutannya sang Raja membunuh permaisurinya sendiri, setelah melahirkan Thay Sui Ye.