Sebut saja namanya Bunga. Pekerjaannya buruk citra. Jaminan hidupnya tak lestari. Ia berasal dari desa, tapi wajahnya tidak ndeso. Bisa bersaing dengan artis ibu kota.
Masih berusia 19 tahun ketika muncikarinya menyeretnya ke lorong itu. Tapi, bukan lorong biasa. Di keramaian kota yang berpenduduk 5 juta, lorong itu terletak di tengah kawasan bisnis yang sibuk. Tidak ada kesan kumuh sama sekali.
Bunga hanyalah salah satu dari sekian gadis Indonesia. Mengadu nasib di luar negeri. Kelihatannya mentereng, tapi bayarannya hanya 60 dollar. Setara dengan selembar baju kaos di pusat perbelanjaan modern.
Rumah makan sederhana bertebaran di pinggir jalan. Usianya sudah turun-temurun. Menjadi ikon kuliner negeri singa. Harga yang ditawarkan pun sangat masuk akal untuk kocek warga Singapura.
Bagi turis dengan anggaran terbatas, Geylang adalah pilihan. Hotel dan penginapan budget berserakan di sepanjang kawasan. Kalau masih mahal ada kos-kosan harian. Akses ke sana pun tanpa batas. Mulai dari taxi, MRT, hingga bus.
Surga dunia bagi para pelancong. Semuanya serba mudah dan murah. Termasuk para gadisnya.
Singapura memang terkenal sebagai negara seribu peraturan. Termasuk tata cara menjual syahwat. Di dalam undang-undang disebutkan dilarang menjajakan tubuh secara terang-terangan dan tidak boleh hidup dari pekerjaan sebagai pelacur.
Namun, dalam kenyataannya kawasan Geylang mendapatkan pengecualian. Rumah bordil di sana mendapatkan pengawasan ketat petugas.
Pekerja seksnya pun wajib memiliki kartu tanda sehat. Sebulan sekali wajib mengetes ke poliklinik terdekat.
Di tengah kesibukan, para gadis penjaja tubuh harus berjibaku mencari nafkah. Pagi hingga malam mereka duduk di depan ruko atau tempat makan. Berbaur dengan warga setempat.
Menjaring pria hidung belang yang ingin diajak bernikmat. Jika ada yang berminat tinggal cek in ke salah satu hotel. Siang atau pun malam.
Tindakan petugas pantas dimaklumi. Tersebab masih banyak muncikari dan PSK tanpa izin berkeliaran. Mereka bertebaran di sepanjang Lorong yang remang-remang. Asalnya pun dari berbagai negara, termasuk Indonesia seperti Bunga.
Ingin rasanya Bunga berpakaian sopan, tapi tidak akan mengundang pelanggan. Itu adalah syarat, agar ia dapat bekerja tiga kali dalam sehari. Hanya untuk sekedar makan dan membayar utang di kampungnya. Â
Akuarium manusia bisa dilihat. Gadis mancanegara siap menghibur. Terbanyak dari China, tapi ada juga dari Malaysia, Vietnam, India, Filipina, Thailand, dan Indonesia.
Tarifnya beragam. Mulai dari 60 hingga 150 dollar Singapura per setengah jam. Bunga mendapat jatah termurah. Gadis Indonesia adalah penyebabnya. Soalnya pulau Batam menjadi saingannya. Menyeberang laut, gadis seperti Bunga hanya dinilai sepertiga harga.
Letaknya di muara sungai Singapura menjadikan Geylang sebagai tempat ideal pemukiman dan sekaligus tempat usaha. Hingga kini peninggalan komunitas Melayu Arab masih terlihat. Termasuk bangunan lama dengan corak timur tengah.
Konon praktik prostitusi sudah berkembang sejak zaman Raffles. Keramaian distrik Geylang zaman dulu menjadi asal mulanya. Sebagai pusat perdagangan tempo doeloe, Geylang telah ramai dikunjungi para pedagang.
Begitu pula dengan para muncikari yang pandai melihat peluang. Rumah penduduk dan rumah bordil hidup damai berdampingan. Raffles menyadari akan kebutuhan dasar para pelancong. Ia tidak melarangnya.
Sebagai kota Metropolitan Asia, kehidupan malam adalah biasa. Pijat plus-plus adalah aurat berkedok usaha. Cobalah tanyakan kepada para pemburu syahwat. Mereka akan lincah bercerita mengenai lokasi yang bertebaran di sepanjang kota.
Lucunya polisi tidak tergugah. Beroperasi secara illegal, para gadisnya tidak memiliki visa kerja. Jika ketahuan, dipenjara adalah resikonya. Tapi, dunia esek-esek tetap memiliki caranya. Ia bagaikan hantu yang tidak ditakuti.
Jangan harap bisa memilih gadis. Nomor boleh disebutkan, tapi tidak ada foto ataupun "akuarium manusia" yang bisa diperlihatkan. Abang jago tidak bego. Tidak mau terkecoh, internet pun menjadi heboh.
Tulisan peringatan "dilarang berbuat mesum" seakan-akan merupakan isyarat "silahkan nego sendiri." Dengan demikian pemilik spa bisa berkilah bahwa mereka telah memberikan peringatan.
Pengunjungnya juga banyak. Berkedok ingin menikmati spa, para lelaki hidung belang mencari layanan ekstra.
Pemerintah menyadari potensi masalahnya. Pemilik spa tidak boleh disalahkan sendiri. Minat pelanggan juga menyuburkan praktik ini.
Muncullah sebuah aturan. Para pengunjung harus menulis identitas lengkap pad buku tamu. Nama dan nomor KTP atau paspor. Tapi, hanya ditulis saja. Tidak akan dicek kebenarannya.
Para PSK dari berbagai negara menjadikannya sebagai markas. Pelancong tanpa keluarga juga sudah mengetahuinya. Dalilnya shopping untuk istri tercinta, tapi serasa kurang sreg jika tidak melepaskan syahwat.
Ada lebih kontroversial lagi. Menawarkan jasa esek-esek tepat di tengah-tengah keriuhan para penegak hukum. Duxton Hill namanya, lokasinya di gedung perkantoran Mal Adelphi. Tempat berbagai firma hukum membuka praktik. Hanya terpaut beberapa ayunan langkah dari Kementerian Hukum Singapura.
Gadis dari negara maju bukan jaminan bebas prostitusi. Jepang, Eropa, Korea, Rusia, hingga Amerika pun terbukti keterlibatannya.
Adalah sebuah hotel berbintang di Kawasan elit Singapura. Muncikarinya bukan orang biasa. Tersebab pelanggannya konon adalah para pejabat dan pengusaha.
Medsosnya ramai dikunjungi. Hasil jepretan fotografer professional menyertai. Bayarannya tidak murah.
Nomor yang bisa dihubungi berganti-ganti. Dikirimkan via aplikasi pesan kepada para pelanggan setia. Di dalamnya ada nomor pemesanan gadis.
Tidak serampangan, harus dipecahkan dengan kode rahasia. Biasanya ditambahkan, dikurangi, atau dijumlahkan dengan angka-angka tertentu.
Kode keras akan masuk via aplikasi pesan. Password pun silih berganti. Bisa ini, bisa itu. Jika berminat, maka ada nomor yang wajib dihubungi.
Tidak ada percakapan yang diizinkan. Cukup menyebutkan password, nomor, dan jam pertemuan.
Tepat waktu adalah hal wajib. Menunggu di lobi hingga seseorang datang menghampiri. Kunci kamar diberikan, sang gadis dari negeri Sakura telah menunggu. Duduk manis dengan wajah ayu.
Jangan lupa membawa tas dan menggunakan jas. Para pelanggan biasanya berkedok pertemuan bisnis rahasia.
Sejak Jumat 27.03.2020, Geylang resmi ditutup untuk waktu yang tidak diketahui. Orchard Tower lebih parah lagi. Disegel dengan garis polisi di depan pintunya.
"Saya punya gadis bagus nih, mungkin ini kesempatan terakhir bagimu," ujar muncikari Bunga. Dengan sedikit nada bergumam membayangkan apakah yang akan terjadi nanti.
Para gadis bebas berkeliaran, asalkan tidak menjajakan tubuh. Sebagian memutuskan untuk pulang ke kampung halaman. Sebagian lagi mencoba menunggu.
Para pelanggan tidak lagi nakal. Mereka lebih sayang nyawa daripada hasrat berselera. Pandemi memang mengubah segalanya. Para lelaki hidung belang tiba-tiba sadar berjemaah.
Baju seksi Bunga sudah tidak lagi menarik. Riasan wajahnya yang tebal laksana badut.
"Apa yang akan saya lakukan sekarang?" Seorang PSK bertanya penuh kebingungan.
Bunga tidak peduli. Ia bertekad untuk kembali ke kampung halaman. Memperbaiki citra. Menikmati hidup yang asri lestari.
Disklaimer: Nama adalah fiksi. Persamaan nama dan karakter hanya kebetulan saja dan tidak disengaja.Â
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H