Sabtu, 20 Maret 2021. Waktu menunjukkan pukul 03.15 Wita. Suasana masih sepi ketika sebuah teriakan memecah keheningan;
"Mallumpai Bola Soba (Terbakar Bola Soba)!!!"
Sontak beberapa anak-anak sanggar senin yang belum terlelap berhamburan ke Bola Soba. Mereka panik, karena situs budaya tersebut adalah tempat mereka biasa menginap.
Di dalam Bola Soba api masih kecil. Anak-anak sanggar seni menyeret tiga lemari keluar. Isinya dokumen kuno dan berbagai replika sejarah pusaka. Â
Namun, api tidak bersahabat. Keperkasaan situs peninggalan Raja Bone ke-31 itu terlalu cepat menyerah. Material kayu ratusan tahun membuat api dengan mudah menyebar.
Lalu, armada Pemadam Kebakaran Kabupaten Bone tiba. Bola Soba mengucapkan selamat tinggal. Menyisakan kerangka tiang dan atap depan yang masih utuh. Tidak ada korban jiwa dalam kejadian tersebut.
Masyarakat Bone pun sedih. Bangunan sejarah yang menjadi saksi kejayaan Kerajaan Bone itu sisa kenangan. Dibangun oleh La Pawawoi Karaeng Segeri Matinroe Ri Bandung, yang memerintah pada 1895-1905.
Bola Soba kerap dijadikan tempat pelatihan sanggar-sanggar seni yang ada di kota Bone. Sepintas takada yang istimewa dengan bangunan ini. Dari luar hampir mirip dengan rumah panggung tradisional lainnya di kota Watampone. Identitasnya dipertegas dengan papan nama dan gapura yang terpasang di depannya. Â
Namun, bangunan bersejarah Kota Bumi Arung Palakka ini menyimpan banyak kejadian penting.
Awalnya dibangun untuk kediaman raja, sehingga ia bergelar Saoraja (Rumah Raja). Bola Soba sendiri juga berarti Rumah Besar atau Rumah Persahabatan. Lalu, datanglah Belanda. Saoraja Bola Soba ini pun dikuasai Belanda. Mereka menjadikannya markas tentara. Tahun 1912 tepatnya.
Juga difungsikan sebagai penginapan dan menjamu tamu Belanda. Dari sinilah nama Bola Soba yang berarti Rumah Persahabatan dalam bahasa Bugis itu didapat.