Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jenderal Moestopo, Dokter Gigi, Pejuang Nyentrik, dan Penggemar Daging Kucing

14 Maret 2021   12:00 Diperbarui: 14 Maret 2021   12:14 1236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekilas kampus yang terletak di bilangan Jakarta Selatan ini tampak biasa-biasa saja. Namanya adalah Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama). Mata terpaku pada tulisan yang tidak lazim untuk institusi pendidikan, yakni (beragama).

Diambil dari situs resmi moestopo.ac.id, terdapat penjelasan kata (beragama) ini. Disebutkan ada empat poin yang secara umum menyatakan bahwa'

"Pengejawantahan dari sila pertama Pancasila ini sebagai pedoman setiap warga Indonesia untuk saling menghormati dan bekerja sama antar umat beragama di wilayah NKRI."

Pada poin kelima disebutkan bahwa pengejawantahan poin 1 hingga 4 adalah cerminan dalam Doktrin Mahasiswa Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama). Tentu hal ini tidak terlepas dari misi dan visi pendirinya, Prof. Dr. Moestopo.

Bagi penulis sendiri pemahaman doktrin ini tidaklah serampangan. Sangat relevan dengan situasi umum yang terjadi saat ini. Di mana agama sering dijadikan bahan pertikaian oleh oknum-oknum tertentu. Suatu hal yang berpotensi memecah belah NKRI.

Prof. Dr. Moestopo telah mampu melihat hal ini jauh ke depan pada saat ia mencetuskan pendirian Yayasan Pendidikan ini pada tahun 1962.

Namun, sejarah perjuangan Prof. Dr. Moestopo tidak hanya dalam bidang pendidikan. Ia adalah pejuang lapangan di era revolusi. Baginya duduk di belakang meja bukanlah proklamasi. Ia lebih memilih memimpin pasukan gerilya dengan gayanya yang unik.

**

"Berjuang sampai titik darah penghabisan dalam masa revolusi fisik dan bekerja sampai titik keringat dan otak penghabisan dalam masa damai." Beginilah motto hidup yang dipegang teguh oleh Prof. Dr. Moestopo.

Beliau lahir di Kediri pada tanggal 13 Juni 1913. Ayahnya hanyalah seorang pensiunan pembantu Bupati Kediri. Mereka bukanlah keluarga berada. Moestopo terpaksa harus tinggal bersama kakak dari ibunya untuk mengenyam pendidikan.

Itu pun bukan hidup yang damai. Moestopo kecil harus bekerja menggembala kambing dan menanam sayuran. Tak heran jika ia harus bolos sehari di setiap akhir bulan untuk bekerja sebagai juru tulis di pasar ternak. Semuanya demi tambahan uang untuk melanjutkan sekolah.

Hal ini ia lakukan terus menerus. Bekerja sambil sekolah hingga berhasil membiayai diri sendiri untuk kuliah di Sekolah Tinggi Kedokteran Gigi Stovit.

Tipenya yang pekerja keras membuka banyak kesempatan bagi Moestopo muda. Ia bahkan pernah menjadi seorang teknisi gigi Prof. M. Knap, seorang guru besar berkebangsaan Belanda di Stovit.

Dari hasil pekerjaannya ini Moestopo bahkan bisa mengumpulkan uang untuk membeli sebuah rumah sederhana.

Bekerja keras mencari nafkah tidak hanya dilakukan oleh Moestopo. Keahliannya sebagai dokter yang masih jarang di kala itu dimanfaatkannya dengan memberikan pengobatan cuma-cuma kepada warga sekitar.

Kebiasaan ini terus dilakukan hingga ia lulus dari pendidikan kedokteran gigi pada 1937. Di tempat Prof. Knap, ia sering bertugas sebagai dokter pengganti jika ia berada di luar negeri.

Tempat praktek lainnya adalah alun-alun Gresik. Tujuannya sangat mulia. Membantu pasien yang kurang mampu di masa penjahajan Belanda kala itu. Meski jarak antara Surabaya dan Gresik sekitar 16 kilometer, tapi Moestopo tetap bersemangat.

**

Pada tahun 1942, Moestopo pernah ditangkap oleh Jepang. Ia dicurigai mata-mata Belanda karena posturnya yang tegap dan besar. Namun, kecurigaan tidak terbukti. Moestopo dilepaskan dan bekerja untuk pemerintah Dai Nippon.

Ia kemudian disarankan untuk memasuki pendidikan militer Jepang PETA (Pembela Tanah Air). Satu Angkatan dengan Soedirman dan Gatot Soebroto.

Otaknya memang cemerlang, begitu pula kepemimpinannya. Ia diangkat menjadi Komandan PETA di Sidoarjo setelah lulus ujian. Tidak perlu waktu lama, ia kemudian diangkat lagi sebagai Komandan Pasukan Pribumi di Gresik dan Surabaya. Di kala itu, tidak banyak orang Indonesia yang menduduki jabatan ini. Hanya lima orang dan Moestopo salah satu di antaranya.

Saat Jepang menyerah dan ingin menyerahkan senjata kepada Tentara Inggris, Moestopo membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) Jawa Timur. Sebelum tentara Inggris mendarat, Moestopo beserta batalionnya menyerang tentara Jepang dengan modal senjata seadanya. Bambu runcing.

Pertempuran pun terjadi. Moestopo melawan bala tentara Inggris. Dari sinilah nama Moestopo mencuat dan kisah nyelenehnya bikin geleng-geleng kepala dimulai.

**

Adalah Brigade Teratai bentukannya yang sudah pernah penulis ulik dalam artikel sebelumnya;

Baca juga: Kisah Tragis Kusni Kasdut, Robin Hood Indonesia yang Dieksekusi Mati.

Brigade Teratai ini disebut juga dengan "Pasukan Setan." Sebabnya anggotanya terdiri dari para penjahat, perampok, pembunuh, pencopet, hingga pelacur. Kusni Kasdut kriminal yang paling tersohor di dalamnya termasuk dalam Brigade ini.

Pasukan ini berjalan sesuai dengan keahliannya. Mereka ditugaskan untuk menimbulkan kekacauan, menyabotase, menjadi mata-mata, hingga menyediakan pasokan logistik dari garis belakang. Caranya dengan menyita, kalau perlu merampok.

**

Moestopo yang juga seorang dokter ini memadukan keahlian strategi perangnya dengan ilmu medis yang dikuasai. Pernah suatu waktu ia membakar ujung bambu runcing di hadapan anak buahnya. Setelah itu, ia mencelupnya dalam kotoran kuda.

Bukan tanpa alasan ia melakukan tindakan konyol itu. Maksudnya agar lawan yang tertusuk terkena penyakit tetanus. Tindakan ini sudah ia pikirkan pada saat masih menjalani pelatihan militer. Ia menulisnya dalam sebuah makalah ilmiah dan mendapatkan nilai tinggi.

**

Obsesinya sebagai dokter dilanjutkan dalam perjuangannya. Ia menyarankan para pasiennya (pasukannya) untuk memakan daging kucing. Menurutnya, daging kucing bisa membuat penglihatan lebih baik dalam kondisi gelap. Bagus untuk perang gerilya.

Sebuah kisah lucu ketika markas pasukan Moestopo dikunjungi Kepala Staf TRI, Jenderal Oerip Soemohardjo.

Suatu hari di tahun 1947, Oerip meninjau pos terdepan pasukan. Di sana ia menemukan sederet makam dengan nisan sederhana.

"Itu makam?" Tanya Oerip.

"Siap Jenderal!" Jawab salah satu pasukan Moestopo.

"Jadi banyak korban di sini?" Oerip bertanya lagi.

"Iya... Ya, Jenderal." Sang prajurit menjawab tergagap.

Dengan mimik serius, Oerip memperhatikan kembali makam-makam tersebut. Ia membayangkan pertempuran sengit yang terjadi di pos terdepan tersebut. Wajahnya sedikit mendung.

"Tetapi maaf Jenderal. Itu bukan manusia." Lanjut prajurit lagi.

"Lantas makam apa?" Sang jenderal bertanya.

"Anu, Jenderal. Kucing yang menjadi korban santapan kami."

Konon ide pemakaman itu berasal dari Moestopo. Tujuannya untuk menghormati jasa para kucing yang sudah bersedia mengorbankan diri menjadi santapan para prajurit. Entah apakah upacara kemiliteran juga mengiringi kepergian mereka.

**

Jangan kira tindakan gila ini lantas membuat dirinya tenggelam. Moestopo pernah diangkat menjadi penasehat Jenderal Soedirman dan Presiden Soekarno.

Semasa revolusi, Moestopo pernah diangkat menjadi Menteri Pertahanan ad-interim. Ia sempat berseberangan sikap politik dengan Mohammad Hatta. Hatta menginginkan jalan diplomasi dengan pihak Sekutu, sementara Moestopo tetap ingin berperang melawan penjajah.

Di Kantor Gubernur Jawa Timur mereka bertemu. Hatta datang bersama beberapa orang asing. Berjumpa dengan Moestopo yang baru saja memberikan nasehat kepada Soekarno untuk tidak tunduk pada negosiasi.

Hatta yang mengetahui masukan Moestopo lantas menyinggung dengan keras,

"Lha ini dia pemberontaknya, ekstremisnya." Ujar Hatta

Moestopo menjawab;

"Memang saya ekstremis, saya pemberontak. Bukankah lebih baik menjadi pemberontak, mati dalam perjuangan, daripada dijajah bangsa asing lagi?" Balas Moestopo sambil mengacungkan jari kepada orang-orang asing yang datang bersama Hatta.

**

Perseturuan Hatta-Moestopo berbuntut panjang. Soekarno sampai turun tangan. Ia ditarik dari medan tempur dan ditempatkan di Istana Negara sebagai Penasihat Agung Presiden Republik Indonesia.

Moestopo tidak menyetujui pada awalnya. Tapi, ia terdiam ketika Presiden Soekarno mengatakan bahwa ia sendiri yang akan menjabat menjadi Menteri Pertahanan ad-interim. Penanggung jawab Revolusi Jawa Timur.

Ia pulang dengan rasa kecewa. Namun, ia tidak tahan hanya duduk-duduk di istana. Tangannya gatal, naluri prajuritnya amat susah untuk dipendam. Ia menghadap Presiden. Soekarno pun luluh. Moestopo dikirim ke Yogyakarta memimpin divisi tempur yang ia beri nama "Ayam Jago."

**

Divisi Ayam Jago ini adalah pasukan Mobil. Untuk menunjukkan mobilitas kesatuannya, Moestopo menjadikan kereta api sebagai markas permanen. Tujuannya agar pasukannya selalu bergerak sesuai fungsinya.

Kereta Api tidak lagi digunakan untuk mengangkut penumpang. Markas besar yang terus bergerak ini sering menyerang Belanda secara sporadis. Musuh ditembaki dari kereta api yang melaju kencang.

"Hei Nederlandse soldaat! Als je witt vechten, kom dan hier tevoorschijn: Generaal Moestopo! (Hei serdadu Belanda! kalau kalian ingin berkelahi, ayo hadapi aku: Jenderal Moestopo!).

Begitulah teriakan Moestopo sambil berdiri berkacak pinggang di depan pintu kereta api yang terbuka.

Kereta api itu berjalan sesuai keinginannya. Tidak pernah berhenti, kecuali atas perintah sang komandan yang tiba-tiba kebelet.

Tak cuman itu, Moestopo melanjutkan tradisi Brigade Teratainya dengan membentuk pasukan dari dunia hitam. Tapi kali ini lebih khusus. Barisan Maling (BM) dan Barisan Wanita Pelacur (BWP).

**

Masa perang usai pada 1950. Moestopo pun turun gelanggang. Ia kembali menjadi dokter di Rumah Sakit Angkatan Darat, Jakarta. Ia juga sempat menjadi Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).

Di ranah akademis, ia menuntaskan Pendidikan di Amerika Serikat. Menggagas berdirinya Dr. Moestopo Dental College pada 1958 dan akhirnya menjadi perguruan tinggi pada 15 Februari 1961.

Moestopo meninggal di Bandung pada 29 September 1986. Meskipun namanya tidak setenar jenderal Revolusi Kemerdekaan lainnya, tapi peranannya dalam pertempuran tidak bisa diabaikan.

Moestopo mendapatkan gelar Pahlawan Nasional pada tahun 2007 atas jasa-jasanya yang sering tak terduga itu.

Referensi: 1 2 3 4

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun