Sekilas kampus yang terletak di bilangan Jakarta Selatan ini tampak biasa-biasa saja. Namanya adalah Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama). Mata terpaku pada tulisan yang tidak lazim untuk institusi pendidikan, yakni (beragama).
Diambil dari situs resmi moestopo.ac.id, terdapat penjelasan kata (beragama) ini. Disebutkan ada empat poin yang secara umum menyatakan bahwa'
"Pengejawantahan dari sila pertama Pancasila ini sebagai pedoman setiap warga Indonesia untuk saling menghormati dan bekerja sama antar umat beragama di wilayah NKRI."
Pada poin kelima disebutkan bahwa pengejawantahan poin 1 hingga 4 adalah cerminan dalam Doktrin Mahasiswa Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama). Tentu hal ini tidak terlepas dari misi dan visi pendirinya, Prof. Dr. Moestopo.
Bagi penulis sendiri pemahaman doktrin ini tidaklah serampangan. Sangat relevan dengan situasi umum yang terjadi saat ini. Di mana agama sering dijadikan bahan pertikaian oleh oknum-oknum tertentu. Suatu hal yang berpotensi memecah belah NKRI.
Prof. Dr. Moestopo telah mampu melihat hal ini jauh ke depan pada saat ia mencetuskan pendirian Yayasan Pendidikan ini pada tahun 1962.
Namun, sejarah perjuangan Prof. Dr. Moestopo tidak hanya dalam bidang pendidikan. Ia adalah pejuang lapangan di era revolusi. Baginya duduk di belakang meja bukanlah proklamasi. Ia lebih memilih memimpin pasukan gerilya dengan gayanya yang unik.
**
"Berjuang sampai titik darah penghabisan dalam masa revolusi fisik dan bekerja sampai titik keringat dan otak penghabisan dalam masa damai." Beginilah motto hidup yang dipegang teguh oleh Prof. Dr. Moestopo.
Beliau lahir di Kediri pada tanggal 13 Juni 1913. Ayahnya hanyalah seorang pensiunan pembantu Bupati Kediri. Mereka bukanlah keluarga berada. Moestopo terpaksa harus tinggal bersama kakak dari ibunya untuk mengenyam pendidikan.
Itu pun bukan hidup yang damai. Moestopo kecil harus bekerja menggembala kambing dan menanam sayuran. Tak heran jika ia harus bolos sehari di setiap akhir bulan untuk bekerja sebagai juru tulis di pasar ternak. Semuanya demi tambahan uang untuk melanjutkan sekolah.