Museum Nasional Jakarta, 30 Mei 1963
Sebuah mobil jip tua memasuki halaman Museum Nasional Jakarta. Platnya bernomor Surakarta. Isinya empat orang berseragam polisi.
Mereka menuju ke area loket penjualan karcis. Mengantri bersama beberapa pengunjung museum.
"Selamat pagi pak,"Â sapa petugas loket kepada sosok polisi berwajah dingin.
Ia tak menaruh curiga, meskipun sang polisi tidak kelihatan seperti sedang bertugas.
Di dalam museum, keempat polisi membaur bersama pengunjung lainnya. Mempelajari situasi dan melangkah naik ke lantai atas.
Dua orang mengajak penjaga berbincang. Seolah-olah ada yang serius untuk dibicarakan. Dua orang lagi menyusup ke ruang yang menjadi sasaran, yakni Ruang Pusaka.
Rencana tidak berjalan mulus. Di dalam Ruang Pusaka ada dua penjaga. Panik dan kepalang tanggung, salah satu perampok mencabut pistolnya dan menodongkan kepada para penjaga.
"Tutup mulut! Kalau tidak..." Petugas berhasil diamankan.
Salah satu dari mereka langsung menghampiri lemari penyimpanan emas dan berlian. Tak butuh waktu lama pintu lemari dicongkel. Tak sampai dua menit beberapa butir berlian masuk ke dalam kaus kaki bekas.
Keempat orang tersebut bergegas keluar menuju mobil. Menancap mobil menuju jalan sepi. Selanjutnya menggunakan dua becak. Masing-masing memuat dua orang.
Becak berjalan santai. Tapi tidak di hati salah seorang perampok. Tangannya bergetar melihat 11 butir berlian yang berkilauan. Entah berapa harganya. Menaksirkannya saja ia tidak berani.
Namanya Kusni Kasdut. Dikenal sebagai salah satu kriminal yang paling legendaris di bumi pertiwi.
Malang, 1930an
Seorang anak kecil berkeliaran di terminal bis-kota Malang. Ia menjajakan rokok dan permen kepada para penumpang bis yang baru datang.Â
Menghidupi diri dan ibunya yang hidup menderita. Tinggal di daerah kumuh Gang Jangkrik, Wetan Pasar, Malang.
Sang anak tidak tahan diam di rumah. Ia tidak ingin diam pasrah kepada nasib. Rumahnya penuh kenangan. Masa lalu darimana ia berasal.Â
Dari tempat yang ia sendiri tidak tahu. Termasuk siapa ayahnya. Â
Malang, 1940an
Kegetiran hidup meninggikan cita-cita. Ia menemukan jati dirinya setelah bergabung dengan Heiho. Dibentuk oleh Jepang. Dipersiapkan untuk menghadapi ancaman tentara sekutu.
Kusni bergabung dengan batalion Matsumura. Gajinya 35 rupiah. Terasa besar bisa beli rokok dan jajanan. Oleh-oleh juga bisa dibawa pulang untuk ibunda tercinta.
Kebanggaannya lenyap ketika Jepang kalah perang pada Agustus 1945. Bagai anak ayam kehilangan induk, Kusni melamar ke Badan Keamanan Rakyat. Tidak mudah diterima. Ia harus ditempatkan pada posisi yang cocok baginya.
Ternyata Brigade Teratai menjadi pilihan negara. Kusni bergabung dalam "pasukan setan" bentukan Jenderal Moestopo. Anggotanya adalah para pelaku dunia hitam. Kusni bergaul dengan para pembunuh, pencopet, perampok, hingga pelacur.
Brigade Teratai adalah pasukan tempur rahasia yang sangat efektif. Tugasnya menyusup ke daerah musuh menimbulkan kekacauan, menjadi mata-mata, hingga melakukan sabotase.
Mereka juga berfungsi sebagai penyedia logistik bagi pasukan. Caranya dengan mengumpulkan barang berharga untuk kepentingan perjuangan. Kalau perlu disita atau dirampok.Â
Kusni sangat lihai. Ia berhasil memboyong tiga toples emas dan berlian. Hasilnya dari merampok para saudagar kaya.Â
Kusni tidak tergiur dengan harta. Sebagian kepada negara. Sisanya untuk kawan-kawan seperjuangannya yang hidup susah.
Malang, 1950an
Indonesia menerima pengakuan kedaulatan negara oleh Belanda. Tidak bagi Kusni. Tubuh Angkatan Bersenjata RI direorganisasi. Tidak untuk Kusni.
Ia tidak diterima. Jasanya tak dikira. Ia pernah ditembak di kaki, pernah pula ditawan Belanda. Perjuangan tak menyambut gayung. Nasibnya terkatung-katung.
Kusni tidak memiliki keahlian lain selain berperang. Ia tak kunjung mendapat pekerjaan. Istri dan dua anak semata wayangnya tak bisa ditepis begitu saja.
Hingga akhirnya Kusni tidak memiliki pilihan. Beberapa teman seperjuangan berhasil dikumpulkan.Â
Tak bisa jadi tentara, lembah hitam jadi lirikan. Komplotan perampok pun dibentuknya. Bir Ali, Mulyadi, dan Abu Bakar dipimpinnya.
Kalau dulunya ia merampok demi Republik, sekarang ia merampok demi hidupnya.
Ibukota, 1950an
Aksi pertama Kusni Kasdut dan gengnya adalah menculik seorang dokter. Uang tebusannya 600 ribu rupiah. Ia berhasil. Selanjutnya seorang hartawan Arab. Namanya Ali Badjened.
Sebulan lamanya Kusni mencari informasi. Sampai kebiasaan Ali pun dihapal. Penculikan rencananya akan dilakukan pada saat Ali berkunjung ke rumah sahabatnya.
Rencana tidak berjalan mulus. Ali dicegat, Ali melawan. Pistol meletus mengenai jantung Ali. Ia tewas di tempat.
Berhari-hari lamanya Kusni bersembunyi. Menunggu berita reda sendiri. Nyatanya tidak demikian. Kematian Ali menimbulkan kehebohan. Dihubungkan dengan iklim politik.
Polisi bahkan mengerahkan Geng Kobra. Kelompok preman yang ditakuti kala itu. Kusni tertangkap di Surabaya. Ia diganjar hukuman mati.Â
Banding diterima atas jasa perjuangannya. Hukuman berubah menjadi vonis seumur hidup. Namun, Kusni tidak mau dikurung. Ia menggunakan ilmu sakti yang konon dimilikinya.Â
Ajian Belut. Ilmu yang sama ketika ia meloloskan diri dari penjara Belanda sebelumnya.
Ia sempat masuk ke dalam Tenaga Bantuan Operasional (TBO) TNI di bawah bentukan Letkol Maladi.
Kusni ditugaskan di Sulawesi Utara untuk menumpas pemberontakan Permesta. Beberapa operasi sempat dilakukannya hingga ke pedalaman.Â
Namun, karena pertikaian dengan komandan peletonnya, Kusni dikirim kembali ke Jawa.
Di sana ia sempat mendaftar sebagai sukarelawan dalam pembebasan Irian Barat. Namun, batal karena ternyata sukarelawan harus mengocek sakunya sendiri.Â
Pupuslah harapannya mengabdi kepada negaranya.
Dalam kegelisahannya ia menyusuri ibu kota. Entah apa yang menuntunnya melangkah masuk ke sebuah museum. Museum Nasional.
Pengadilan menjatuhkan hukuman mati baginya pada tahun 1969. Namun, dalam kurun waktu sepuluh tahun hingga 1979, Kusni berhasil meloloskan diri sebanyak delapan kali.
"Saudara Kusni, sesuai dengan sifat baru lembaga kita, di sini dilaksanakan juga pelajaran budi pekerti dan agama. Apakah mungkin saudara tertarik mengikuti salah satunya? "Â Ujar Sukorharjo, Direktur LP Cipinang kala itu.
Pernyataan itu membuat Kusni merenung. Hingga akhirnya ia bersedia.
"Beragama atau tidak, sebenarnya tidak terlalu penting, yang utama ialah berdoa dan berbuat baik demi sesama. Sebab dengan demikianlah kita memuliakan Tuhan." Ucap Van Lersel, seorang misionaris berkebangsaan Belanda.
Kata doa yang terus diucapkan Lersel menarik pehatian Kusni. Hingga akhirnya ia berkata;
"Saya ingin terlahir kembali."
Di sinilah titik balik Kusni. Ia tidak berkeinginan untuk lari dari penjara lagi. Ia bertekad untuk menjadi orang saleh dan pasrah menunggu nasibnya.
Hari-hari selanjutnya Kusni bekerja menciptakan karya seni dari barang-barang yang tak terpakai dari penjara.Â
Lersel yang melihat kemampuan Kusni kemudian mendatangkan sejumlah orang yang ahli di bidangnya. Karya seninya dijual untuk sesuatu yang bermanfaat.
"Pak Kusni, ada yang datang membesuk." Ujar sipir penjara di suatu hari.
Kusni terkejut. Sudah lama tidak orang yang peduli dengannya. Masih terheran-heran dan mencoba menduga-duga. Kusni tidak pernah membayangkan siapa yang akan datang menjumpainya.
Seorang gadis cantik rupawan berdiri di hadapannya. Wajahnya sangat familiar. Mirip mantan istrinya yang telah pergi meninggalkannya.
"Ayah..!"Â ucap gadis itu berlumuran air mata.
"Ayah, saya Ninik, Ayah," ucapnya lagi.
Kusni terpaku. Ia merasa kotor. Jijik melihat dirinya. Ia tidak pantas menerima air mata gadis yang kini memeluknya itu.
Kusni meragu. Ia tidak pernah menangis. Bahkan ketika bundanya pergi menjauh. Ia tidak pantas menunjukkan air matanya di depan sang gadis.
Namun, Kusni juga manusia. Air mata tak terbendung. Kusni menangis sekeras-kerasnya. Atas sisa masa lalu yang masih beradab. Hidup penuh kekotoran lenyap diseka kesucian. Ia mencium pipi putrinya. Tuhan memang ada!
Hari-hari selanjutnya, Kusni menjalani hidup dengan lebih bemanfaat. Ninik membawakan calon suaminya. Kusni hanya bisa terharu.
Sehari setelah Natal di suatu malam Kusni menerima Sakramen Pemandian. Nama yang ia pilih adalah  Ignatius. Ia menganggap nama yang diambil dari perusak Gereja yang berubah menjadi orang saleh. Nama ini cocok bagi dirinya.
Ia benar-benar berubah saleh. Tidak lagi pemarah, bahkan mendidik dua orang anak muda selama di penjara. Sebagai bentuk pelampiasan apa yang tidak pernah ia lakukan kepada anak-anaknya sendiri.
Suatu malam Kusni merenung. Ia menyadari kesalahannya. Dosanya terlalu banyak untuk dimaafkan. Ia menutup matanya. Merengkuh sisa sisa kebaikan yang bisa ia lakukan.
Suatu hari Kusni merenung. Ia memejamkan matanya. Ikat matanya susah untuk dilepaskan. Sebagaimana kesalahan yang susah dilupakan. Merangkul sisa napas yang masih bisa dihembuskan.
Kusni berdiri dengan tangan terikat. 16 Februari 1980 adalah waktunya. Timah panas menembus tubuhnya. Menghentikan gerakannya untuk berjuang bagi negeri tercinta ini.
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H