"Bercak darah itu menunjukkan gerakan lengan dari suatu tempat di atas monitor di mana darah berasal dari luka," ujarnya ketika memberi kesaksian di persidangan.
Yang lebih janggal lagi, di tubuh David terdapat 36 luka, sementara Prof. Chan hanya menderita 4 luka. Posisi mata pisau yang terakhir berada pada genggaman Prof. Chan.
Seorang wanita pekerja di NTU juga memberi keterangan kepada ayah David, Hartono Widjaja. Ia menyebutkan mendengar David berteriak ketakutan, "They want to kill me, they want to kill me... they..." Tapi dia tak mengira jika teriakan tersebut serius. Dalam pikirannya hanya candaan.
Saksi ahli forensik dari Indonesia, dr. Djaja Surya Atmadaja dilarang memberikan kesaksian. Pengacara keluarga David, O.C. Kaligis pun tidak bisa bersaksi. Padahal ia punya lisensi internasional. Aturan yang tidak lazim diberlakukan.
Pihak keluarga terkesan dihalang-halangi oleh pihak berwajib Singapura. Mereka yang ditemani pihak Kedutaan Besar RI tidak diberi kesempatan untuk melihat TKP secara langsung.
Pada hari pertama, juga tidak diperbolehkan melihat jenasah David. Alasanya karena mau diotopsi. Keesokan harinya mereka kembali. Pengakuan Hartanto Widjaya;
"Anak saya badannya dililit plastik, dibalut macam mumi plastik bening."
Mereka juga menemukan keanehan di mayat David. Meskipun jatuh, wajahnya tidak hancur. Tapi, lehernya malah diperban.
"Kalau tak dianiaya, tak mungkin dapat luka di leher." Ujar Hartanto.
Kepolisian Singapura terkesan mendesak pihak keluarga untuk memberi keputusan. Mengkremasi jasad atau membawa pulang ke Indonesia.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!