"Okkots mi sedeng."
Bagi yang paham dengan istilah ini, tentu akan senyum-senyum sendiri. Orang Bugis-Makassar tahu persis apa yang dibilang dengan "Okkots"
"Diang-diang mi, kalau kau bicara logak Makassarnu keluar." Ini salah satu contoh Okkots.
Lawan dari Okkots adalah "balogat," alias berusaha mengikuti gaya bicara anak-anak sinetron.
"Ngapaing sih loe ikut logatna orang laing?" Kurang lebih seperti ini.
Okkots sendiri diambil dari kata Okko (bahasa Makassar) yang berarti "injak garis" yang sering dipakai dalam permainan dende-dende (atau juga dikenal sebagai engklek)
Okkots (mungkin) bisa menjadi hal yang sangat memalukan. Tapi, apakah memang benar demikian?
**
Lagipula, penelitian berkata bahwa dirimu tak akan pernah bisa terlepas dari ke-okkots-anmu. Karena pada dasarnya bahasa telah dipelajari oleh seseorang sejak ia masih orok.
Bahasa yang dipelajari oleh kita bukan hanya sekedar ABC saja, tapi juga intonasi, putaran lidah, gerakan rahang, hingga hati yang sejuk. Anak bayi akan mendengarkan suara ibunya yang ia tandai sebagai bahasa kasih sayang. Terlepas dari hilangnya huruf "r" atau kelebihan "g," itu adalah bahasa pertamanya.
Selanjutnya, anak balita memiliki kemampuan mimikri yang paling hebat. Kemampuan ini tidak hanya sekedar mengikuti ucapan, tapi lebih dari itu.
"Ini membutuhkan sinkronisasi mikro-milimeter dan keakuratan-mikrodetik dalam mengontrol bibir, lidah, velum, rahang dan pita suara untuk memproduksi suara yang tepat."Â Ujar Peter Trudgill dari Universitas Agder Norwegia.
Seiring bertambahnya usia, kemampuan ini berkurang. Inilah yang menjelaskan, mengapa seseorang susah mengucapkan kata-kata dari bahasa lain dengan sempurna.
**
"Sudah makan, ji?" Ini salah.
Seharusnya "sudah makan, mi?"
Masih bisa ditoleransi, soalnya yang melafalkannya adalah Mas Yogadari Jawa. Meskipun ia terlahir sebagai anak dari seorang transmigran di Mamuju, Sulawesi Barat, tetap saja, ia tumbuh besar di lingkungan berbahasa Jawa.
Lantas mengapa ia harus memaksakan logat yang dibuat-buatnya? Awalnya aku berpikir, sejak bergabung di perusahaanku, ia secara sukarela 'menyetel' logat Jawanya yang medhok menjadi okkots.
Sayangnya, tetap saja kelihatan. Julukan "Mas Jawa" tetap melekat hingga kini.
Walaupun demikian, Mas Yoga mengaku jika logat Makassarnya tidaklah dibuat-buat. Sejak kecil memang demikian adanya. Asimilasi dialek mungkin hal yang tepat untuk dikatakan. Sebagaimana mantan teman kuliah dari Surabaya yang berbahasa Inggris di Amerika.
**
Seringkali logat kita mengungkapkan banyak hal mengenai identitas kita. Sayangnya, ia juga seringkali menimbulkan stereotip bagi pemiliknya.
"Cantik-cantik kok Medhok." Justifikasi bahwa mereka yang cantik harus bertutur bahasa yang baik. Padahal tidak ada salahnya dengan logat yang dibawa.
Seorang pakar lingusitik dari Universitas Manchester menyatakan bahwa logat daerah tertentu diidentikkan dengan watak dan tabiat tertentu. Steroetip ini berlaku umum. Ia akan mempengaruhi kehidupan sosial dan professional. Diambil dari sumber (bbc.com), Chi Luu, seorang pakar linguistik mengatakan bahwa;
"Para pendengar dapat menghubungkan seluruh sifat pribadi yang tidak terkait dengan seorang penutur. Mulai dari berat badan, daya tarik fisik, status sosial, intelejensi, pendidikan, karakter yang baik, sosialibilitas, bahkan kriminalitas."
Meskipun tidak selamanya demikian, kadang kita sering mengidentifikasikan logat daerah yang terlalu kental dengan level edukasi yang tidak terlalu tinggi.
Anda bisa saja memiliki tampan rupawan atau kulit halus mulus bak dewi Firdaus. Tapi, begitu Anda membuka mulut, tetap saja logat Anda akan berkhianat.
Akibatnya, sejumlah orang akan dengan sengaja mengubah logat mereka. Sterotip yang terbentuk membuat mereka berharap lebih "manusiawi" dengan logat baru yang diadopsinya.
Bahkan politisi papan atas sekelas Hillary Clinton juga ditenggarai mengubah aksennya, agar kelihatan lebih merakyat. Ia dituduh mengadopsi beberapa gaya berbahasa yang berbeda-beda tergantung siapa pendengarnya.
**
Saya termasuk orang yang "beruntung" bisa menyesuaikan okkots atau balogat. Tergantung dengan siapa dan untuk tujuan apa. Jelas, sebagai seorang pembicara publik, kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar diperlukan.
Bahkan untuk bahasa Mandarin saja yang tidak sepenuhnya dikuasai, saya termasuk cepat menyesuaikannya dengan logat selatan (Guangzhou) maupun utara (Beijing dan sekitarnya). Hanya dalam beberapa jam setelah berinteraksi dengan mereka.
Awalnya, saya merasa "sombong." Khususnya terhadap teman-temanku yang okkots nya minta ampun. Saya menganggap bahwa kemampuan adaptasi linguistik-ku lebih mumpuni. Tapi ternyata saya salah...
Banyak yang mengakui, mengubah aksen sangat tidak mudah dan melelahkan. Namun, kenyataannya mengubah logat tidak memerlukan latihan atau keahlian khusus. Ia terjadi secara wajar dengan sendirinya.
Seperti yang dikutip dari sumber (kompas.com). Konon dulu banyak anggota tim bulutangkis Indonesia yang berbicara dengan logat jawa, meskipun ia bukan berasal dari daerah tersebut. Penyebabnya tak lain, karena anggota tim yang tinggal di Pelatnas bulutangkis banyak yang berasal dari Jawa.
Bukan hanya logat, gerakan tubuh dan kelakuan pun bisa berubah mengikuti pola penduduk lokal. Diane Mapes, seorang peneliti dari MSNBC melaporkan bahwa para ahli bahasa megatakan nada bicara kita seringkali berubah pada setiap interaksi dengan orang yang berbeda-beda.
Rosario Signorello seorang pakar linguistik Itali bahkan mengatakan hal yang lebih ekstrim lagi, "logat tak ubahnya fashion: tergantung pada konteks sosialnya, sejumlah penutur akan menyesuaikan cara berbicara mereka."
**
Lantas perlukah kita mengubah logat kita?
Pertanyaan yang sulit dijawab, karena ini adalah masalah pilihan. Saya sendiri suka mengubah logat karena ingin menjadi lebih akrab dengan orang sekitar. Berbicara di grup KPB (Komunitas Kompasianer Penulis Berbalas) saja, saya kadang menyelipkan kata-kata dalam logat Jawa.
Sebenarnya sih bukan apa-apa, tapi senang saja bercengkrama dengan para gadis ayu Pulau Jawa dalam grup. Seperti Mba Nazar, Mbar Ari, Mba Muthia, dan Mba Anis. (bagian ini hanyalah iklan, jangan terlalu senang dulu).
Tujuannya jelas, membaur bersama mereka yang senang berbaur. Lagipula berbicara dengan gaya bahasa orang lain juga bisa dibilang sebagai tumbuhnya sikap empati.
Namun, jika saya berada di Makassar, jangan harap okkotsku hilang. Ia akan selalu bersemi terhelai anging mamiri. Pun halnya dengan kawan-kawan dari pulau Jawa, okkots tak terasa janggal berpadu dengan lidah medhok.
"Sudah makan ji?" Itulah hasil perkawinan lidah Jawa dengan bahasa Makassar.
Bagaimana dengan dirimu yang susah beradaptasi dengan logat asing?
Tidak usah khwatir juga. Identitas diri bukanlah sesuatu hal yang harus ditutup-tutupi. Aku bangga sebagai orang Makassar, demikian pula dengan dialekmu. Mengubah aksen layaknya menghilangkan sesuatu dari dalam diri kita.
Seiring waktu, kita dengan susah payah membentuk jati diri kita, mengapa harus susah payah menyembunyikan logat kita dalam panggung sosial?
Memaksakan seseorang mengubah aksen, sama seperti tidak menghargai keberadaan mereka. Tiada bedanya dengan sikap rasisme. Tiada bedanya dengan meminta orang timur berkulit legam untuk memutihkan kulitnya.
Bahkan jika Anda memaksakannya, itu belum tentu cocok dengan persepsi orang terhadap dirimu.
Sebuah studi menunjukkan bahwa orang Amerika keturunan Asia dinilai kurang dipahami dalam berbicara dibandingkan dengan kaum bule Amerika. Walaupun faktanya keturunan Asia tersebut berbicara dengan logat Amerika yang sama. Dengan demikian, mengubah aksen tidaklah terlalu perlu.
Jadi, kalau kau orang Makassar, jangan sampai "lette ki Monas."
Lette ki Monas = Monas Berpindah (ke Makassar). ** Biasa digunakan untuk menyindir orang Bugis-Makassar yang berlogat Jakarta.
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H