Selanjutnya, anak balita memiliki kemampuan mimikri yang paling hebat. Kemampuan ini tidak hanya sekedar mengikuti ucapan, tapi lebih dari itu.
"Ini membutuhkan sinkronisasi mikro-milimeter dan keakuratan-mikrodetik dalam mengontrol bibir, lidah, velum, rahang dan pita suara untuk memproduksi suara yang tepat."Â Ujar Peter Trudgill dari Universitas Agder Norwegia.
Seiring bertambahnya usia, kemampuan ini berkurang. Inilah yang menjelaskan, mengapa seseorang susah mengucapkan kata-kata dari bahasa lain dengan sempurna.
**
"Sudah makan, ji?" Ini salah.
Seharusnya "sudah makan, mi?"
Masih bisa ditoleransi, soalnya yang melafalkannya adalah Mas Yogadari Jawa. Meskipun ia terlahir sebagai anak dari seorang transmigran di Mamuju, Sulawesi Barat, tetap saja, ia tumbuh besar di lingkungan berbahasa Jawa.
Lantas mengapa ia harus memaksakan logat yang dibuat-buatnya? Awalnya aku berpikir, sejak bergabung di perusahaanku, ia secara sukarela 'menyetel' logat Jawanya yang medhok menjadi okkots.
Sayangnya, tetap saja kelihatan. Julukan "Mas Jawa" tetap melekat hingga kini.
Walaupun demikian, Mas Yoga mengaku jika logat Makassarnya tidaklah dibuat-buat. Sejak kecil memang demikian adanya. Asimilasi dialek mungkin hal yang tepat untuk dikatakan. Sebagaimana mantan teman kuliah dari Surabaya yang berbahasa Inggris di Amerika.
**