Beberapa saat yang lalu...
Memasuki sebuah Kawasan elit di Kota Makassar, saya masih cuek dengan sebuah spanduk yang bertuliskan, "Anda memasuki kawasan parkir elektronik."
Hal pertama yang terlintas adalah di kawasan ini akan terpasang semacam 'parkir meteran' yang bisa diisi dengan koin. Namun, tidak ada tanda-tanda pemugaran yang terjadi di sepanjang kawasan itu.
"Ah, paling-paling uji coba yang tidak jadi lagi dibuat." Begitulah kata hati bergumam.
Namun, pada saat selesai berbelanja di sebuah supermarket, seorang anak muda dengan seragam yang tidak mirip tukang parkir, datang menghampiri.
"Lima ribu pak" ujarnya.
Lho, aku melengok kanan kiri. Tukang parkir yang kukenal terlihat duduk tidak jauh dari lokasi parkir mobilku. Lengkap dengan seragam kebesarannya.
Masih bingung, sang anak muda kemudian menyodorkan semacam mesin EDC kecil dan mencetak struk parkir. Tertera harga 5000 perak. "Oh, ini toh parkir elektronik, yaudah, bayar aja"
Setelah berbelanja seadanya di supermarket yang sama, aku kemudian mencoba mencari sang juru parkir milenial. Namun, batang hidungnya tidak kelihatan.
Saya pun naik ke mobil dengan harapan ia akan muncul, layaknya tukang parkir pada umumnya. Namun, bukannya sang milenial, tukang parkir "konvensional" yang muncul kembali.
Karena yang muncul adalah seragam lama, maka aku secara reflek mengeluarkan tiga ribu perak seperti tarif yang selama ini berlaku. Aku pun iseng bertanya.
"Bukannya lima ribu? Mana mi anak muda ka?"
Si tukang parkir konvensional kemudian berkata,
"kalau kita mau lima ribu, kupanggilkan ki dulu orangnya (kalau mau bayar lima ribu, saya panggilkan dulu orangnya)"
"Sudah, tiga ribu saja," ujarku.
Untuk apa bayar lebih hanya untuk melihat alat terbaru keluaran PD Parkir ini.
Nah, bukankah ini adalah hal yang janggal? Di saat peraturan telah dibuat, selalu ada saja harapan yang membuat aturan bisa ditawar. Tapi, satu hal yang lebih menggelitik, apakah pekerjaan tukang parkir ini akan hilang ditelan bumi suatu saat nantinya?
Entah apakah pekerjaan tukang parkir adalah warisan kolonial atau produk anak bangsa. Tapi, catatan yang aku dapatkan, setidaknya sejak kemerdekaan hingga 1950an di Jakarta sudah ada pihak yang merasa bertanggung jawab.
Kendaraan bermotor saat itu belum terlalu banyak. Wilayah parkir berlum terlalu luas. Pekerjaan "Jaga Otto," yang dimaksud pun masih jarang. Hanya seputaran pusat kegiatan kota.
Pihak yang merasa bertanggung jawab pada umumnya adalah orang yang disegani di wilayah tersebut. Pendapatan mereka tidak diatur oleh undang-undang perpakiran seperti saat ini.
Namun, kegiatan itu tidaklah berjalan mulus. Oknum preman penguasa dan pejabat daerah masih main kejar-kejaran untuk penyetoran hasil parkir kepada pihak PU.
Jakarta bertambah ramai, apalagi dengan pelaksanaan Asian Gamespada tahun 1962. Tukang parkir tumbuh subur, bukan hanya di pusat kota saja. Pembangunan wilayah baru di Jakarta membuahkan lahan penghasilan baru bagi kelompok-kelompok preman yang berkuasa.
Sebagai contoh, daerah Pasar Baru dikuasai oleh kelompok Betawi dengan pimpinan Samid Kicau.Wilayah Glodok dikuasai oleh Animuardari kelompok Banten, dan masih banyak lagi.
Pada tahun 1968, pemda DKI Jakarta mengambil alih kegiatan tersebut dengan mengeluarkanKeputusan Gubernur KDKI Jakarta no. Db/5/6/68. Sampai akhirnya urusan parkir memarkir ini telah menjadi bagian dari perhatian pemerintah hingga kini.
Karena profesi ini dan segala pernak-perniknya tumbuh besar bersama dengan problematik sosial di negeri ini. Lahan parkir sebenarnya adalah milik umum. Namun, tetap saja ada kelompok-kelompok masyarakat tertentu yang mengklaimnya sebagai wilayah kekuasaan.
Pemilik keramaian (toko, kantor, atau gedung) pun tidak jarang "menyewa" penguasa setempat sebagai juru parkir.
Tujuannya sih bagus. Untuk memberdayakan ekonomi masyarakat sekitar. Tapi, bukan rahasia umum lagi, tujuan lainnya adalah demi "keamanan."
Profesi ini tidak memiliki keahlian atau pun lisensi khusus. Tidak periu gelar sarjana dan tidak perlu juga lisensi mengemudi. Tidak perlu izin khusus dan tidak perlu juga areal khusus. Asal ada keramaian, di situlah mereka berada. Bahkan hingga ke pelosok desa yang banyak kendaraan.
Lucunya para pengemudi mobil juga mengayomi keberadaan mereka. Membayar parkir dianggap semacam hal yang sudah biasa. Tiket bahkan kadang tidak diperlukan. Apalagi jika sampai bertengkar dengan tukang parkir. Tidak penting banget deh!
Di sisi lain, ada juga beberapa kelompok masyarakat yang menjadikan tukang parkir setara dengan kaum dhuafa. Saya (kadang) termasuk salah satu di antaranya.
Tarif parkir mobil resmi di kota Makassar adalah Rp.3.000,- Dalam kasus tertentu, tergantung siapa tukang parkirnya, aku bisa memberikan lebih.
Kadang rasa iba muncul ketika tukang parkir adalah seorang yang sudah uzur, ibu-ibu yang membawa anaknya, atau kaum difabel. Selembar gocengan hingga cebangan terasa ikhlas diberikan.
Mau tahu pendapatannya? Setiap hari rata-rata 150 motor dan 50 mobil keluar masuk lahan parkir. Tarif rata-rata untuk motor adalah 2000 perak, sedangkan mobil 3000 perak. Sila hitung sendiri.
Tunggu dulu, tidak sampai di situ. Di bulan Ramadan, selalu ada rezeki untuk Daeng Toa. Aku pernah melihat dengan mata kepala sendiri seorang bapak haji tajir memberikannya tiga ratus ribu perak.
Bukan hanya sekali, setiap hari pasti ada saja zakat yang bervariasi. Mulai dari sekarung beras, sekantung plastik sembako, hingga uang puluhan sampai ratusan ribu rupiah.
Saya bisa membayangkan bagaimana perasaan Anda saat ini ketika mengetahui sedikit kenyataan tentang lika-liku tukang parkir di Indonesia. Lantas, apakah profesi ini sebaiknya dihilangkan saja? Apakah pengguna kendaraan tetap membutuhkan kehadiran mereka?
Aku sendiri pribadi masih menganggap tukang parkir adalah hal yang penting. Ada beberapa alasan yang mendasari;
Pertama, kenyataan bahwa lahan parkir memang susah didapatkan. Mencari tempat parkir susahnya minta ampun. Tukang parkir bisa membantu menata kendaraan agar tempat parkir selalu tersedia.
Kedua,di tempat yang ramai, tukang parkir dapat membantu kita lepas dari keramaian kendaraan. Kita bisa leluasa bergerak keluar dari tempat parkir. Tukang parkir adalah pengatur lalu lintas yang handal.
Ketiga, meskipun tukang parkir tidak bertanggung jawab penuh terhadap keamanan kendaran, tapi perasaan lebih tenang jika ia berada di sana.
Keempat, terik panas matahari, jok motor panasnya minta ampun. Untung ada tukang parkir yang senantiasa menutupnya dengan karton bekas.
Kelima, Karena sampai kapan pun, tukang parkir akan muncul bak hantu di sampingmu dengan peluitnya yang nyaring.
"Goceng, Om."
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H