"Mana ada penduduk miskin di Indonesia?" Maaf ya, ini bukan pernyataan provokasi atau pelecehan terhadap kenyataan sosial.
Sebabnya standar apa sih yang digunakan untuk menentukan penduduk miskin atau tidak miskin? Menurut data BPS, persentase penduduk miskin pada Maret 2020 sebesar 9,78%. Jumlahnya mencapai 26,42 juta orang penduduk Indonesia.
Inilah yang berada di benak Daeng Rewa. "Apakah aku tergolong miskin?"
Daeng Malla, tetangga sebelah rumahnya juga tidak kalah mengenaskan. Di medsos selalu adu boros. Tapi kalau sudah bansos, tidak pernah bolos.
Daeng Rewa penasaran. Ia bertanya kepada Adam, menantunya yang sekarang bekerja di BPS.
"Adakah namaku di sana nak?" Tanya Daeng Rewa.
Adam pun tidak bisa menjawab. Andaikan pun ada, BPS tidak akan menghubungkan 26,42 juta dengan data valid yang lengkap ber-KTP. Sebabnya metode yang digunakan oleh BPS adalah sampling, bukan pendataan.
Menurut Adam, BPS mendefenisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar. Artinya jika belanjaan di bawah standar pemerintah, maka ia adalah orang miskin.
Daeng Rewa takut dibilang orang miskin. Meskipun kadang merasa kekurangan, ia selalu meyakinkan dirinya, masih banyak orang yang lebih miskin di luar sana.
Itulah mengapa dirinya tak pernah antri, selagi ada bansos ataupun baksos. Bukannya gengsi, tapi Daeng Rewa punya prinsip bahwa ia tidak pernah miskin.
Tapi, dengan adanya data orang miskin versi tempat kerja mantunya, ia jadi penasaran. Apakah ia termasuk orang miskin?
"Ada angkanya itu, Ayah." Adam mencoba mengingat standar Garis Kemiskinan Nasional (GKN) yang dijadikan acuan oleh BPS.
Daeng Rewa sebenarnya tidak suka angka, ia tidak pernah suka guru matematika. Namun, ia lebih tidak senang gelar orang miskin.
"Berapa angkanya itu, nak?" Daeng Rewa bertanya kepada Adam. Ia mau tahu apakah dirinya betul-betul miskin, atau miskin-miskinan.
"Jika dalam sebulan pengeluaran tidak sampai Rp.454.652,- per orang, maka itulah orang miskin."
BPS menggunakan sumber data utama dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Dari sinilah angka itu muncul.
Daeng Rewa termenung. Ia baru saja melunasi cicilan motornya yang dibeli beberapa tahun lalu. Meskipun beberapa kali ia mengalami kesulitan membayar cicilan, tapi alhamdulilah ia mampu melunasinya.
Cicilan motornya saja sudah mencapai angka Rp.450.000 per bulan. Jelas Daeng Rewa bukanlah orang miskin. Istrinya, Siti Khadijah masih sering kumpul-kumpul di rumah Bunda Toeng, istri Daeng Udin, mantan pak RT.
Arisan RT diadakan di sana. Meskipun tidak besar, tapi Daeng Rewa bisa menghitung jika biaya makan-makan dan beres-beres yang dikeluarkan oleh Siti Khadijah melebihi lima ratus ribu rupiah.
Aman, Daeng Rewa tidak masuk dalam kategori orang miskin.
"Tapi, ada tong versi lain versi Bank Dunia, Ayah."Â Adam lanjut menjelaskan.
"Kalau setiap hari rata-rata pemasukan tidak sampai Rp.26.600,- dibilanglah orang miskin."
Daeng Rewa kembali tertegun. Ia mengeluarkan kalkulator yang biasa digunakan untuk menghitung komisi dari hasil jualan motor bekas. Ia mendapatkan angka Rp.798.000,- per bulan (30 hari kerja).
Jumlah itu setara dengan komisi 2 hingga 3 motor per bulan. Di zaman sebelum Covid, jelas enteng. Daeng Rewa bisa menjual hingga minimal 10 unit per bulan. Ini belum termasuk satu atau dua transaksi besar penjualan mobil atau rumah.
Namun, pada saat pandemi merebak, Daeng Rewa sudah sangat jarang keluar rumah. Kadang pendapatannya tidak sampai segitu.
Begitu pula dengan dagangan baju Siti Khadijah, istrinya. Dalam keadaan normal, ia bisa dapat mendapat keuntungan satu hingga dua juta rupiah per bulan. Di masa pandemi ini jelas berkurang.
Menurut Adam, penetapan ini digunakan oleh Bank Dunia sebagai representasi garis kemiskinan di negara paling miskin di dunia. Namun, agar datanya memiliki dasar perhitungan yang sama, maka nilai agregat pun digunakan. Alias standar kemiskinan adalah sama untuk setiap negara.
Daeng Rewa kembali bingung, apakah dirinya sudah termasuk miskin di masa pandemi? Masih belum puas, ia pun bertanya lagi kepada Adam.
"Kalau tidak sampai, bagaimana mi? Kan ini masa pandemi, kurang mi yang mau beli motor sekarang."
"Itu mi yah, dimana-mana situasi kayak begitu."
"Untungnya kan ada ji program pemerintah untuk UMKM, bisa tong ki kita ambil untuk jadikan modal dagangannya Mamak."Â Adam menjawab pertanyaan mertuanya.
"Coba mi nanti kutanya ki mamakna Halifah."Â Daeng Rewa menjawab setengah hati. Sedari dulu hingga kini, ia tidak pernah melirik bantuan sebagai sumber penghidupannya.
Meskipun kini pendapatannya jauh berkurang, ia masih bisa hidup dari tabungan. Hasil komisi dari sebuah rumah miliaran yang ia jual kepada Haji Baba, orang paling kaya di lingkungannya.
Melihat ayahnya semakin ragu akan standar kemiskinan pada dirinya, Adam lantas mengeluarkan sebuah data yang ia unduh dari ponsel genggamnya.
"Begini saja mo, yah." Adam menjelaskan dengan sabar.
"Kementerian Sosial membuat standar kemiskinan. Ukuran ini biasanya digunakan sebagai daftar bagi calon penerima bansos. Coba mi baca-baca saja dulu."
Adam menyodorkan ponsel genggamnya. Judulnya adalah 14 kriteria kemiskinan menurut Kemensos RI. Daeng Rewa mulai membaca dengan seksama;
- Luas Lantai Bangunan Tempat Tinggal Kurang dari 8 M2 per Orang.
- Jenis Lantai Tempat Tinggal Terbuat dari Tanah/Bambu/Kayu Murahan.
- Jenis Dinding Tempat Tinggal dari Bambu/Rumbia/Kayu Berkualitas Rendah/Tembok Tanpa Diplester.
- Tidak Memiliki Fasilitas Buang Air Besar/Bersama-sama dengan Rumah Tangga Lain.
- Sumber Penerangan Rumah Tangga tidak Menggunakan Listrik.
- Sumber Air Minum berasal dari Sumur/Mata Air tidak terlindung/Sungai/Air Hujan.
- Bahan Bakar untuk Memasak sehari-hari adalah Kayu Bakar/Arang/Minyak Tanah.
- Hanya Mengonsumsi Daging/Susu/Ayam dalam satu kali Seminggu.
- Hanya Membeli Satu Stel Pakaian Baru dalam Setahun.
- Hanya Sanggup Makan Sebanyak Satu/Dua Kali dalam Sehari.
- Tidak Sanggup Membayar Biaya Pengobatan di Puskesmas/Poliklinik.
- Sumber Penghasilan Kepala Rumah Tangga adalah : Petani dengan Luas Lahan 500 M2, Buruh Tani, Nelayan, Buruh Bangunan, Buruh Perkebunan dan atau Pekerjaan Lainnya dengan Pendapatan di bawah Rp. 600.000,- per Bulan.
- Pendidikan Tertinggi Kepala Rumah Tangga : Tidak Sekolah/Tidak Tamat SD/Tamat SD.
- Tidak Memiliki Tabungan/Barang yang Mudah dijual dengan Minimal Rp. 500.000,- seperti Sepeda Motor Kredit/Non Kredit, Emas, Ternak, Kapal Motor, atau Barang Modal Lainnya.
Setelah membaca kriteria tersebut, Daeng Rewa dengan tegas mengatakan, "Saya tidak miskin." Tidak ada satu pun dari ke-14 kategori yang ia alami. Pun halnya dengan Daeng Malla yang setiap kali menerima Bansos jika ada acara.
Dirinya lega, Daeng Rewa bersyukur ia masih memegang pesan almarhum ayahnya;
"Jangan kau pernah anggap ko miskin, nak. Sesungguhnya yang miskin itu bukan materi, tapi jiwa."
Ia sadar bahwa banyak orang miskin di Indonesia. Ia pun sadar bahwa dirinya juga masih hidup kekurangan. Tapi, ia yakin jika miskin atau tidak miskin hanyalah sebuah perbedaan dari rasa syukur.
"Kalau kau anggap ko miskin, miskin tong mi. Tapi, kalau kau selalu bersyukur, insyallah tidak tong ji." Daeng Rewa bergumam dalam hati.
Lamunannya dibuyarkan oleh suara pintu yang dibanting dari tetangga sebelah. Daeng Malla tampak grasa-grusu dengan jaket yang baru dibelinya.
"Mau kemana ko, Daeng."Â Daeng Rewa menyapa tetangganya itu.
"Ayo mi ke kelurahan, ada bansos di sana." Daeng Malla tampak senang bukan kepalang.
"Woi, tidak miskin jako, Kabu***pe." Daeng Rewa berteriak ke arah motor keluaran terbaru Daeng Malla yang semakin menjauh.
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI