Yang lebih mengejutkan lagi, bukan hanya wanita. Lelaki pun sering menjadi korban Stockholm Syndrome ini. Sebabnya sindrom ini tidak hanya melibatkan kekerasan fisik saja. Tapi, juga kekerasan psikis.
Ahmad (nama samaran) sering mendapat teror ancaman dari Bunga (nama samaran). Bunga selalu merasa diabaikan. Di tengah kesibukan, Ahmad harus tetap melapor kepada Bunga, jika tidak mau Bunga mengamuk di kantornya. Tidak jarang juga ancaman bunuh diri datang menyertai jika Ahmad berkumpul bersama teman-temannya.
Senada dengan hal ini, teori dari Jackson (2007) menyatakan bahwa ada empat kondisi yang muncul terhadap penderita Stockholm Syndrome.
Pertama, adanya ancaman terhadap keselamatan korban, baik fisik maupun psikis yang dilakukan oleh pelaku.
Kedua, adanya ancaman kepada korban untuk tidak melarikan diri atau mengabaikan pelaku.
Ketiga, adanya larangan dari pelaku kepada korban untuk berhubungan dengan orang-orang tertentu di sekitarnya.
Keempat, korban merasa terbiasa terhadap perbuatan si pelaku dan berharap adanya perubahan yang lebih baik terjadi suatu waktu nanti.
Sindrom ini juga bernama Capture Bonding, dimana korban penculikan biasanya terisolasi dari dunia luar. Bukan hanya hubungan antara pasangan saja. Dalam dunia kerja hal ini juga seringkali terjadi.
Dewi (nama samaran) adalah seorang karyawati yang telah bekerja 10 tahun lamanya. Ini adalah pekerjaan pertama dan juga satu-satunya. Bosnya memiliki perangai yang buruk. Jika marah, barang selalu dibuang-buang, disertai dengan makian kebun binatang.
Namun, Dewi tidak pernah berkeinginan keluar dari pekerjaannya. Ia merasa nyaman dengan sifat sang bos. Bahkan jika sudah lama tidak dihardik, Dewi sengaja mencari kesalahan agar ia dimaki. Lucunya, Dewi bahkan sering cemburu melihat staff lain yang dimarahi habis-habisan.
Dalam kasus Dewi, dunia kerja seperti apa yang ia rasakan. Dewi tidak pernah memiliki perbandingan. Dunia kerja telah mengisolasi dirinya. Ia telah disandera oleh sebuah situasi yang dia anggap sepantasnya. Motivasi kerja baginya bukan makian, tapi melihat sisi baik sang bos jika sedang tidak emosi.
**
Sampai titik ini kita baru menyadari atau mungkin belum menyadari bahwa kita telah terlibat. Stockholm Syndrome tidak perlu tampil heboh. Aku dan kamu bisa saja muncul sebagai pelaku atau korban.
Mana tahu kalau kamu adalah bunga yang selalu cemburu pada suami. Siapa tahu saya adalah Ahmad yang selalu resah hidup dengan istri. Mungkin saja anakmu menikah dengan Ali yang selalu kasar padanya.
Menurut penulis, Stokcholm Syndrome berpotensi muncul pada setiap insan. Â Semua hal besar dimulai dari yang kecil. Keinginan untuk memiliki kadang bisa berbahaya. Sikap posesif bisa berubah drastis menjadi teror mematikan bagi yang terkasih.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!