Ami dan Ali (nama samaran) adalah sepasang kekasih. Hubungan mereka baru seumur jagung. setahun bukanlah waktu yang lama untuk memadu kasih. Romantisme jauh dari kenyataan.
Ali perangainya kasar. Tapi, hanya terhadap Ami saja. Di luar ia adalah seorang lelaki terhormat. Saking terhormatnya sehingga pantas disebut idaman para wanita.
Ami adalah seorang gadis yang terjebak masa lalu. Ia pernah menjalin kisah kasih dengan lelaki beristri. Aborsi dilakukan sembunyi-sembunyi. Tidak ada yang pernah tahu, kecuali Ali.
Ami yang selalu dirudung perasaan bersalah, menganggap Ali sebagai satu-satunya harapan. Lelaki terhormat tidak pantas menerima masa lalu gadis yang sudah pernah aborsi.
Makian, tendangan, hingga tamparan mewarnai hubungan percintaan. Pihak keluarga bukannya tidak tahu. Ami sering pulang rumah dengan mata sembab dan wajah yang lebam.
Puluhan nasehat sudah dilayangkan, bahkan pengaduan polisi sudah ditayangkan. Tapi, Ami bersikeras Ali adalah lelaki penyayang. Ia sering menanyakan apakah Ami sudah makan.
Kini Ami tidak lagi tinggal bersama keluarga. Baginya hanya menambah runyam masalah. Begitu pula dengan para sahabat yang mengkhwatirkannya. Semuanya dimusuhi tanpa sebab.
Ami tidak bisa kehilangan Ali. Meskipun ia harus menjalani perlakuan kasar setiap hari. Jika ditanya mengapa, Ia hanya menjawab bahwa Ali tidak seperti apa yang kelihatan.
**
Dalam kisah percintaan kasus ini cukup sering terdengar. Bagaimana seseorang merasa tidak bisa kehilangan sang kekasih, meskipun ia sering diintimidasi. Bagi manusia normal, hubungan ini jelas toxic. Tapi, tidak bagi sang kekasih.
Cinta memang buta. Pengorbanan pantas dilakukan demi yang terkasih. Sayangnya, dalam dunia psikologi, Ami adalah penderita gangguan kejiwaan yang disebut dengan Stockholm Syndrome.
Stockholm Syndrome adalah suatu kondisi psikologis yang menimbulkan hubungan yang kuat antara korban dan pelaku kekerasan. Ikatan ini meliputi menyalahkan diri sendiri, berempati terhadap sikap pelaku, hingga menyangkal perlakuan kasar yang diterimanya. Lebih dalam lagi, ikatan tersebut menimbulkan perasaan cinta yang sangat dalam.
Istilah ini berasal dari sebuah kejadian perampokan Bank Sveriges pada tahun 1973 di Stockholm, Swedia. Adalah Jan-Erik Olsson dan Clark Olofsson yang menyandera 4 karyawan bank selama lima hari.
Ketika akhirnya para sandera dibebaskan, mereka bahkan saling berpelukan dengan penyekapnya. Satu sandera wanita malahan jatuh cinta dengan salah satu perampok dan membatalkan pertunangan dengan kekasihnya.
Teori ini pertama kali dicetuskan oleh Nis Bejerot, seorang psikiater yang juga kriminolog, yang membantu polisi saat perampokan tersebut terjadi. Ialah yang pertama kali menyadari hubungan emosional antara keempat sandera dengan para penyanderanya.
Menurut Nils, apa yang terjadi disebabkan oleh reaksi paradoks psikologi korban. Lima hari dalam ancaman senjata api, membuat mereka merasa ajal hanya menunggu waktu. Namun, kemudian hal itu tidak terjadi. Perampok bahkan memberikan mereka makan dan waktu istirahat yang cukup. Menjadi tidak berdaya akhirnya menimbulkan perasaan empati terhadap ancaman yang hanya khayalan.
Meskipun tidak persis sama, kondisi psikologis Ami menyerupai perasaan para sandera yang disekap selama 5 hari. Stockholm Syndrome selalu melihat sisi baik di balik kekerasan yang dilakukan oleh pelaku.
Perasaan tidak berdaya yang dialami Ami disebabkan karena kondisi masa lalunya yang suram. Aib Ami seolah-olah menjadi sebuah kenyataan yang sulit untuk diterima oleh lelaki mana pun, kecuali Ali.
Dalam kasus yang berbeda, masa lalu suram bukan satu-satunya penyebab. Kadang sang korban malah tidak memiliki apa pun untuk disembunyikan. Namun, perilaku kasar yang diterima tanpa sebab membuat dirinya merasa tidak berdaya. Takut untuk melapor, dan malu untuk diekspos.
Ikatan yang tidak sehat ini menjadi alasan korban sulit melepaskan diri dari hubungan tersebut.
Ironisnya, sebanyak 40% hingga 70% wanita yang menjadi korban kekerasan, cenderung mempetahankan atau kembali dalam hubungan tersebut selama kurun waktu tertentu.
Yang lebih mengejutkan lagi, bukan hanya wanita. Lelaki pun sering menjadi korban Stockholm Syndrome ini. Sebabnya sindrom ini tidak hanya melibatkan kekerasan fisik saja. Tapi, juga kekerasan psikis.
Ahmad (nama samaran) sering mendapat teror ancaman dari Bunga (nama samaran). Bunga selalu merasa diabaikan. Di tengah kesibukan, Ahmad harus tetap melapor kepada Bunga, jika tidak mau Bunga mengamuk di kantornya. Tidak jarang juga ancaman bunuh diri datang menyertai jika Ahmad berkumpul bersama teman-temannya.
Senada dengan hal ini, teori dari Jackson (2007) menyatakan bahwa ada empat kondisi yang muncul terhadap penderita Stockholm Syndrome.
Pertama, adanya ancaman terhadap keselamatan korban, baik fisik maupun psikis yang dilakukan oleh pelaku.
Kedua, adanya ancaman kepada korban untuk tidak melarikan diri atau mengabaikan pelaku.
Ketiga, adanya larangan dari pelaku kepada korban untuk berhubungan dengan orang-orang tertentu di sekitarnya.
Keempat, korban merasa terbiasa terhadap perbuatan si pelaku dan berharap adanya perubahan yang lebih baik terjadi suatu waktu nanti.
Sindrom ini juga bernama Capture Bonding, dimana korban penculikan biasanya terisolasi dari dunia luar. Bukan hanya hubungan antara pasangan saja. Dalam dunia kerja hal ini juga seringkali terjadi.
Dewi (nama samaran) adalah seorang karyawati yang telah bekerja 10 tahun lamanya. Ini adalah pekerjaan pertama dan juga satu-satunya. Bosnya memiliki perangai yang buruk. Jika marah, barang selalu dibuang-buang, disertai dengan makian kebun binatang.
Namun, Dewi tidak pernah berkeinginan keluar dari pekerjaannya. Ia merasa nyaman dengan sifat sang bos. Bahkan jika sudah lama tidak dihardik, Dewi sengaja mencari kesalahan agar ia dimaki. Lucunya, Dewi bahkan sering cemburu melihat staff lain yang dimarahi habis-habisan.
Dalam kasus Dewi, dunia kerja seperti apa yang ia rasakan. Dewi tidak pernah memiliki perbandingan. Dunia kerja telah mengisolasi dirinya. Ia telah disandera oleh sebuah situasi yang dia anggap sepantasnya. Motivasi kerja baginya bukan makian, tapi melihat sisi baik sang bos jika sedang tidak emosi.
**
Sampai titik ini kita baru menyadari atau mungkin belum menyadari bahwa kita telah terlibat. Stockholm Syndrome tidak perlu tampil heboh. Aku dan kamu bisa saja muncul sebagai pelaku atau korban.
Mana tahu kalau kamu adalah bunga yang selalu cemburu pada suami. Siapa tahu saya adalah Ahmad yang selalu resah hidup dengan istri. Mungkin saja anakmu menikah dengan Ali yang selalu kasar padanya.
Menurut penulis, Stokcholm Syndrome berpotensi muncul pada setiap insan. Â Semua hal besar dimulai dari yang kecil. Keinginan untuk memiliki kadang bisa berbahaya. Sikap posesif bisa berubah drastis menjadi teror mematikan bagi yang terkasih.
Jika hari ini kamu merasa telah memiliki gejala ini, ada baiknya untuk bersikap terbuka kepada pasanganmu. Ia mungkin tidak menyadarinya.
Jika saat ini kamu merasa telah menjadi penyebab bagi orang yang tersayang, ada baiknya untuk belajar melepaskan. Mungkin kamu tidak menyadarinya.
Menjadi pencinta burung, tidak harus menaruhnya dalam sangkar. Alangkah indahnya melihat alam berseri-seri dengan burung yang bebas bernyanyi. Menyayangi seseorang tidak harus memilikinya. Sudah sepantasnya kita menyebar cinta tanpa pamrih bagi alam dan segala isinya. Termasuk bagi orang yang tersayang.
Semoga Seluruh Mahluk Hidup Berbahagia
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H