Stockholm Syndrome adalah suatu kondisi psikologis yang menimbulkan hubungan yang kuat antara korban dan pelaku kekerasan. Ikatan ini meliputi menyalahkan diri sendiri, berempati terhadap sikap pelaku, hingga menyangkal perlakuan kasar yang diterimanya. Lebih dalam lagi, ikatan tersebut menimbulkan perasaan cinta yang sangat dalam.
Istilah ini berasal dari sebuah kejadian perampokan Bank Sveriges pada tahun 1973 di Stockholm, Swedia. Adalah Jan-Erik Olsson dan Clark Olofsson yang menyandera 4 karyawan bank selama lima hari.
Ketika akhirnya para sandera dibebaskan, mereka bahkan saling berpelukan dengan penyekapnya. Satu sandera wanita malahan jatuh cinta dengan salah satu perampok dan membatalkan pertunangan dengan kekasihnya.
Teori ini pertama kali dicetuskan oleh Nis Bejerot, seorang psikiater yang juga kriminolog, yang membantu polisi saat perampokan tersebut terjadi. Ialah yang pertama kali menyadari hubungan emosional antara keempat sandera dengan para penyanderanya.
Menurut Nils, apa yang terjadi disebabkan oleh reaksi paradoks psikologi korban. Lima hari dalam ancaman senjata api, membuat mereka merasa ajal hanya menunggu waktu. Namun, kemudian hal itu tidak terjadi. Perampok bahkan memberikan mereka makan dan waktu istirahat yang cukup. Menjadi tidak berdaya akhirnya menimbulkan perasaan empati terhadap ancaman yang hanya khayalan.
Meskipun tidak persis sama, kondisi psikologis Ami menyerupai perasaan para sandera yang disekap selama 5 hari. Stockholm Syndrome selalu melihat sisi baik di balik kekerasan yang dilakukan oleh pelaku.
Perasaan tidak berdaya yang dialami Ami disebabkan karena kondisi masa lalunya yang suram. Aib Ami seolah-olah menjadi sebuah kenyataan yang sulit untuk diterima oleh lelaki mana pun, kecuali Ali.
Dalam kasus yang berbeda, masa lalu suram bukan satu-satunya penyebab. Kadang sang korban malah tidak memiliki apa pun untuk disembunyikan. Namun, perilaku kasar yang diterima tanpa sebab membuat dirinya merasa tidak berdaya. Takut untuk melapor, dan malu untuk diekspos.
Ikatan yang tidak sehat ini menjadi alasan korban sulit melepaskan diri dari hubungan tersebut.
Ironisnya, sebanyak 40% hingga 70% wanita yang menjadi korban kekerasan, cenderung mempetahankan atau kembali dalam hubungan tersebut selama kurun waktu tertentu.