Entah apa yang terjadi dengan Prabowo Subianto, semenjak memutuskan bergabung dengan koalisi pemerintah dan dipercaya menjadi Menteri Pertahanan (Menhan), ia lebih banyak diam.
Padahal, saat masih sebagai oposisi, Ketua Umum Partai Gerindra ini terkenal vokal dan menggebu-gebu dalam mengkritisi atau menyerang pemerintahan Presiden Jokowi.
Akan tetapi, jangankan berkoar, Sekarang tampilannya di media pun terasa jarang. Bahkan saat negara tengah dilanda isu-isu hangat yang membutuhkan peranannya selaku Menhan, Prabowo sepertinya enggan ikut campur.
Aksi massa yang terjadi di beberapa daerah menolak omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) dan keriuhan yang diakibatkan oleh Habib Rizieq Shihab dan FPI-nya. Prabowo bungkam. Ia tak bereaksi.
Saat anak buahnya berbuat gaduh. Misalnya, mantan Menteri KKP, Edhy Prabowo diciduk KPK, lalu Fadli Zon dan Habiburokhman mengobok-obok pemerintah dengan cara membela FPI, Prabowo Subianto makin nyungsep.
Beredar spekulasi, konon diamnya Prabowo tersebut disengaja. Bagian dari taktik politiknya menuju pilpres 2024. Dengan kata lain, ia menganggap diam itu emas. Dengan diam, diharapkan mampu menghasilkan sesuatu yang memuaskan.
Setidaknya pendapat ini pernah dilontarkan oleh Direktur Eksekutif Lembaga Analisis Politik Indonesia (LAPI), Maksimus Ramses Lalongkoe. Maksimus memaknai sikap diam Prabowo itu sebagai jurus atau taktik maut. Hal itu dimaksudkan demi memperlancar niatnya merangkul massa pendukung Presiden Jokowi.
Dikutip dari Suara.com, Maksimus membaca gelagat Prabowo sedang menunggu momentum waktu yang tepat untuk melakukan gebrakan. Dia enggan mengambil langkah gegabah sehingga akan dicap memanfaatkan kursi menteri demi kekuasaan.
"Saya kira dia menunggu waktu yang tepat, sebab jangan sampai dia dinilai presiden menggunakan panggung menteri untuk tujuan pilpres,"Â tuturnya, Rabu (20/1).
Prabowo terlihat dengan jelas sedang menjaga dengan baik posisinya saat ini. Ia lebih banyak diam untuk mempertahankan posisinya.
"Prabowo Subianto sepertinya sedang menjaga betul kondisi ini dan menjaga basis dukungan Jokowi juga," ujar Maksimus.
Bisa jadi apa yang dikatakan Maksimus benar. Bila banyak bertingkah, Prabowo bisa saja dinilai caper dan sekadar pencitraan. Hal ini bagi sebagian publik sudah dianggap jualan basi.
Di zaman serba modern dengan akses digital tanpa batas, informasi begitu cepat dan mudah. Ini yang mungkin dikhawatirkan Prabowo. Bila publik menilai setiap gerak langkahnya hanya demi pencitraan, maka akan menjadi boomerang. Lawan politiknya akan menyerang dengan narasi yang menghasut. Akibatnya, elektoral politiknya akan menjadi buruk.
Atau mungkin bisa saja sebaliknya, Prabowo bisa sangat percaya diri. Ia mungkin merasa tidak membutuhkan lagi pencitraan dan popularitas. Ia yakin bahwa seluruh warga negara Indonesia telah mengenalnya. Bekal sebagai politisi senior yang berpengalaman dalam ajang pilpres, tentu cukup membuat elektabilitasnya selama ini masih terjaga dengan baik.
Namun, apakah dengan diam lantas Prabowo dapat merangkul pendukung Jokowi?
"Saya kurang sependapat bila diamnya Prabowo bisa merangkul para pendukung Presiden Jokowi"
Demikian penilaian Kompasianer Elang Salamina dari hasil diskusi materi ini bersama penulis pada selasa 26.01.2021 malam. Elang bahkan memaknai diamnya Prabowo sebagai harakiri politik.
Dalam tradisi Jepang, harakiri adalah bunuh diri dengan cara merobek perut dengan pedang pendek. Kalau diterjemahkan bebas, artinya bunuh diri. Â Alasannya karena publik bisa saja menilai bahwa diamnya Prabowo sebagai sikap manca-mencle, alias tidak punya prinsip.
Lebih lanjut menurut Elang, paramater penilaian ini mudah saja ditebak. Yakni, adanya prilaku berseberangan yang diperlihatkan oleh beberapa anak buahnya di Partai Gerindra. Misal, Fadli Zon dan Habiburokhman. Kedua orang ini kerap mengkritisi pemerintah.
Andai Prabowo memperlihatkan sedikit saja ketegasan dengan cara menegur atau memberikan sanksi pada Fadli dan Habiburokhman, bisa jadi para pendukung Presiden Jokowi akan bersimpati dengan dua jempol. Namun tetap saja, manta Danjend Kopasus ini malah cenderung tidak peduli. Â
Dengan begitu, taktik maut Prabowo bukan tak mungkin malah jadi blunder. Alih-alih mampu merangkul, yang ada malah ditinggalkan massa pendukung Jokowi.
Akhir kata, Kompasianer Terpopuler 2020 ini mengatakan, bila hal itu terjadi, jelas diamnya Prabowo malah menjadi lonceng kematian karier politiknya. Bukan hanya tidak dilirik massa pendukung Jokowi, tetapi juga ditinggalkan oleh kelompok oposisi yang sejak awal telah merasa dikhianati.
Bagaimana pendapat penulis?
Menulis artikel politik masih terasa ngeri-ngeri sedap. Entah mengapa, semuanya terasa berat di jari tangan. Bagi penulis, untuk memulainya saja susahnya minta ampun.
Namun, setelah banyak berdiskusi dengan Elang Salamina, penulis mendapatkan sebuah tip yang cukup berarti. Menurut Elang, menulis politik harus menggunakan naluri dan akal sehat. Naluri berguna untuk memahami isu apa yang sedang ramai dibahas, atau berpotensi menjadi polemik.
Pembaca politik suka dengan kekinian dan konflik. Kedua hal ini yang harus terkandung dalam tulisan politik yang bernas.
Namun, jangan lupa akal sehat atau cara berpikir yang dituangkan agar tulisan yang disuguhkan tidak menyinggung siapa pun. Semuanya dibuat atas azas dualisme kepentingan. Alias bisa masuk ke dalam pikiran pro dan kontra.
Gaya penulisan ini akan mengurangi potensi konflik dari kepentingan yang berbeda. Inilah yang disebut dengan tulisan politik yang wawas (bukan mawas).
Mungkin ada yang pernah bertanya, mengapa tidak membuat tulisan politik yang bermanfaat? Elang Salamina menjawab santai, "Kalau mau bermanfaat mah, nulis resep masakan aja."
Menurutnya, banyak yang lupa kalau dalam politik itu tidak ada yang abadi dan bermanfat. Politik adalah isu sesaat yang sangat dinamis. Tidak ada lawan, juga tidak ada kawan.
"Ditulis hari ini dua hari kemudian udah lupa, gak ada bedanya dengan para politisi, janji hari ini, besoknya amnesia." pungkasnya.
Selain itu, pria asal Sumedang ini juga mengatakan bahwa nalurinya tentang politik bisa berkembang, karena ia cukup banyak bergaul dengan para politisi lokal. Menurutnya, apa yang pada umumnya hangat di warung kopi, maka akan hangat juga di media.
"Sesederhana itu mah, selama ada kopi, ada rokok, eksistensi mah, jalan terus."
Jujur, mendengar nasehat Elang, penulis bukannya semakin semangat. Yang ada justru semakin deg-degan. Tapi, tidak apalah, seperti yang Daeng Khrisna katakan, hidup ini adalah proses politik. Apa pun yang kita lakukan untuk maksud tertentu, itu sudah bermain politik.
Termasuk menulis Diari untuk memancing Engkong Felix turun gunung.
Cukup sampai di sini, bagi Anda yang penasaran lebih jauh tentang rahasia Kompasianaer Elang Salamina dan Fery Widiatmoko. Jangan lupa ikuti "Blogshop Bersama KPB di Kompasiana: Menulis Artikel Politik yang Bernas dan Mawas."
Catet tanggal mainnya ya

Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI