Bagaimana pendapat penulis?
Menulis artikel politik masih terasa ngeri-ngeri sedap. Entah mengapa, semuanya terasa berat di jari tangan. Bagi penulis, untuk memulainya saja susahnya minta ampun.
Namun, setelah banyak berdiskusi dengan Elang Salamina, penulis mendapatkan sebuah tip yang cukup berarti. Menurut Elang, menulis politik harus menggunakan naluri dan akal sehat. Naluri berguna untuk memahami isu apa yang sedang ramai dibahas, atau berpotensi menjadi polemik.
Pembaca politik suka dengan kekinian dan konflik. Kedua hal ini yang harus terkandung dalam tulisan politik yang bernas.
Namun, jangan lupa akal sehat atau cara berpikir yang dituangkan agar tulisan yang disuguhkan tidak menyinggung siapa pun. Semuanya dibuat atas azas dualisme kepentingan. Alias bisa masuk ke dalam pikiran pro dan kontra.
Gaya penulisan ini akan mengurangi potensi konflik dari kepentingan yang berbeda. Inilah yang disebut dengan tulisan politik yang wawas (bukan mawas).
Mungkin ada yang pernah bertanya, mengapa tidak membuat tulisan politik yang bermanfaat? Elang Salamina menjawab santai, "Kalau mau bermanfaat mah, nulis resep masakan aja."
Menurutnya, banyak yang lupa kalau dalam politik itu tidak ada yang abadi dan bermanfat. Politik adalah isu sesaat yang sangat dinamis. Tidak ada lawan, juga tidak ada kawan.
"Ditulis hari ini dua hari kemudian udah lupa, gak ada bedanya dengan para politisi, janji hari ini, besoknya amnesia." pungkasnya.
Selain itu, pria asal Sumedang ini juga mengatakan bahwa nalurinya tentang politik bisa berkembang, karena ia cukup banyak bergaul dengan para politisi lokal. Menurutnya, apa yang pada umumnya hangat di warung kopi, maka akan hangat juga di media.
"Sesederhana itu mah, selama ada kopi, ada rokok, eksistensi mah, jalan terus."