Kata Bunda, "jika ingin pertemanan abadi, maka hindarilah pembicaraan tentang agama dan politik."
Jika kamu memiliki pandangan yang sejalan, sah-sah saja. Yang dikhwatirkan jika pemahamannya berbeda. Masalahnya, kita tidak pernah tahu apa isi hati dan kepala orang lain.
Pandangan politik adalah sebuah keyakinan yang paling dasar. Tabu untuk disinggung, sensitif untuk disentilung. Menyentuh urat nadi malu dan mengusik pundi harga diri.
Menulis politik di Kompasiana rasanya pedis-pedis pahit. Coba lihat berapa sering tulisan yang dihapus dan berapa banyak akun yang diblokir, gegara wajah yang memerah dan kuping yang memanas.
Intinya, tidak mudah.
Itulah sebabnya sebagai Kompasianer, tulisan berbau politik jarang disentuh olehku. Kalau pun dipaksakan, paling seputaran seputaran Ankle Donald dari Amrik, atau Encek Kim dari Korut.
Sementara untuk pembahasan politik dalam negeri, sejauh-jauhnya nyali meradang, paling banter tentang fakta sejarah politik di Indonesia. Menyinggung aturan, melawan kebijakan, apalagi memperkeruh suasana. Cari masalah namanya.
Bukannya takut artikel itu akan dihapus oleh Mimin Angker. Kita juga tidak berada di negara otoriter ala saddam. Namun, pandangan politik itu berbeda kawan! Menjadi penulis angka dan kamasutra di Kompasiana rasanya lebih nyaman daripada menganggit paham populis hingga berubah anarkis.
Kendati demikian, saya harus jujur. Membaca artikel politik teman-teman Kompasianer yang selalu onggok di laman terpopuler, membuatku ngiler.
Apalagi para penulisnya sering muncul pada urutan teratas daftar penerima K-Rewards, dan juga berada pada deretan 20 Kompasianer terpopuler 2020. Iri rasanya.
Sebutkanlah nama-nama seperti, Elang Salamina, Fery W, Om Gege, Susy Haryawan, Boris Tokapelawi, Agil S Habib, dan Esdi A. Siapa yang tidak kenal mereka?