Filsafat ini mengajarkan bahwa pada dasarnya semua materi di bumi tidak saja mengandung unsur Yin-yang, tapi juga merupakan keterwakilan dari ke lima elemen, yaitu Logam, kayu, Air, Api, dan Tanah.
Dari kelima elemen ini, muncullah ide tentang adanya lima rasa, yaitu; pahit, manis, pedas, asin, dan asam. Rasa ini kemudian dibagi lagi menjadi dua kelompok besar Yin-yang, dimana rasa manis dan pedas dianggap sebagai unsur Yin, sementara pahit, asin, dan asam adalah unsur Yang.
Filsafat Lima elemen Wu-xing juga memaknai warna pada bahan masakan, yaitu merah (api), kuning (logam), putih (tanah), biru (api), dan hijau (kayu). Warna ini kemudian menjadi faktor perimbangan kehadiran dari kelima unsur, baik dari sisi bahan yang digunakan, maupun tampilan masakan yang disajikan.
Faktor lainnya lagi berasal dari karakteristik bau, rasa, dan nilai gizi. Bagi masyarakat Tionghoa, lima organ utama dari tubuh (limpa, paru-paru, ginjal, hati, dan kantung empedu) disebutkan memiliki lima rasa yang berbeda dan juga memiliki fungsi khusus bagi kesehatan tubuh manusia.
Bagaimana Filsafat China Kuno diterapkan pada Makanan China?
Intinya setiap masakan harus bisa mengandung kedua unsur dan lima elemen ini secara merata. Caranya bisa berupa penyajian, seperti makanan berkuah harus disajikan dengan makanan yang dibakar. Bisa juga berupa bahan yang digunakan dalam satu jenis masakan, seperti gorengan (Yang) dalam kuah asam-manis (Yin).
Begitu pula dengan tekstur dan cara memasak. Gabungan harus berasal dari bahan berbeda sehingga mampu menghasilkan keseimbangan dalam rasa (manis, pedas, pahit, asam, dan asin).
Koki yang andal juga akan memperhatikan tampilan akhir dari penyajian. Keseimbangan warna harus terjaga. Misalnya daging yang bewarna kecoklatan, sebaiknya disajikan dengan warna sayuran yang kontras, seperti tomat merah, paprika kuning, atau sawit hijau.
**
Kembali kepada suasana di Restoran New Garden, Pullman, Washington, Amerika Serikat, 1992.
Kami akhirnya memesan "Buddha Jumps Over The Wall." Sebabnya, dari keempat pilihan yang tersedia, menu inilah yang memiliki nama yang paling lucu.
Banyak hikayat di belakang masakan "Buddha Jumps Over The Wall" ini. Salah satunya adalah kisah tentang seorang cendekiawan pada zaman Dinasti Qing yang melakukan perjalanan menuju ke istana untuk mengikuti ujian yang diselenggarakan oleh kerajaan.