Bening datang menghantui, hasrat tak lagi abadi.
Seonggok pikiran berilusi, hati tak lagi sudi.
Penyesalan datang bertubi-tubi, hitam tak lagi putih.
Nayanika terbaring di atas ranjang. Ia menyadari hidupnya yang tak lagi berarti. "Aku mencintai Segara, namun aku tidak lagi berarti apa-apa." Baginya apakah arti dari sebuah cinta, jika tak lagi memiliki.
Open marriage adalah sebuah konsep yang seharusnya menjadi solusi bagi pasangan yang masih terbuka dan ingin bebas berhubungan dengan orang lain. Namun semuanya menjadi tragedi, ketika apa yang dijalankan tidak lagi sesuai dengan janji.
Nayanika mampu memegang komitmennya dengan hanya berhubungan dengan Alvin seorang yang disetujui oleh suaminya. Namun, tidak bagi Segara. Ia bebas memilih gadis yang ingin ia tiduri. Naya hanya perlu tahu saja. Menjijikkan! Itulah yang terlintas di benak Naya. Segara tak lagi menawan.
Perubahan sikap semakin dirasakan, ketika Segara sering menghardiknya untuk hal-hal sepele. Takada lagi kemesraan yang hadir di tengah mereka. Menurut Segara, itu hanyalah luapan emosi sesaat. Namun, bagi Naya itu adalah tanda peralihan.
Segara sudah terlanjur jatuh cinta dengan seorang gadis lain yang seharusnya menjadi bagian dari komitmen bersamanya. Gadis yang ia temukan di tengah hubungan open marriage. Segara tidak pernah mengakuinya, namun Naya tetap bersikeras. Ia meminta Segara untuk tidak lagi melanjutkan hubungannya dengan sang gadis. Namun, semuanya percuma.
Pertengkaran demi pertengkaran mengisi hari-hari mereka. Tidak ada lagi rasa cinta yang tersisa. Segara mendapatkan kenikmatan dengan hubungan seks bebas yang seharusnya disetujui oleh istrinya. Namun, tidak bagi Naya. Hanya rasa cemburu dan putus asa ia temukan dalam setiap kisah erotis tentang suaminya.
Hingga suatu waktu. Aroma bunga melati menusuk hidung mewangi. Naya terjebak dalam pikiran rumit yang sempit. Â Â
"Wangi tubuhmu akan selalu melekat di hidungku." Nayanika menangis, tubuhnya gemetar, "Mengapa engkau mengkhianatiku, Segara?" Teriakan Naya mengoyak sepi. Lidahnya terasa kelu, matanya kabur. "Aku mencintaimu, Segara, meski engkau sudah menjadi jasad membusuk."