Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Jangan Ikut Kelas Khrisna Pabichara Jika Tidak Ingin Menyesal

15 Desember 2020   12:29 Diperbarui: 15 Desember 2020   12:49 686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat ini saya sedang berada dalam ruang kelas "Menulis Bersama Khrisna Pabichara (KP)," yang diselenggarakan oleh Komunitas Kompasianer Penulis Bersama (KPB).

Jangan bayangkan ruang hotel mewah, sekarang masa pandemi. Jangan pula pikirkan zoom cantik ala Kompasianival, tampang Daeng KP tidak sehat bagi jomlowati.

Lantas di mana? Tepatnya hanya dalam grup Whatsapp yang sekarang sudah berisikan 43 partisipan. Apa yang dilakukan oleh Daeng Khrisna? Ia hanya mengetik saja. Ingat, ia adalah seorang penulis.

Meskipun sebagai sesama Daeng dari Makassar, saya sempat terkecoh dengan nama belakang "Pabichara," yang dalam bahasa Makassar artinya "Tukang Bicara."

Awal perkenalanku dengan beliau, ya, di Kompasiana. Pada saat masih culung aku rajin membaca tulisan-tulisan yang berseliweran dari nama-nama yang kuusahakan teringat dalam benak.

Entah mengapa Daeng KP luput dari pengamatanku. Ia tidak berada dalam radarku. Entah karena sempat vakum menulis di saat pandemi menyerang, atau memang nama dan karyanya tidak menarik perhatian. Entahlah!

Hingga suatu saat pada saat aku menulis artikel fiksi dengan mengambil Daeng Rewa dan Daeng Malla sebagai nama penokohan. Daeng Khrisna hadir dalam kolomku, dan meninggalkan jejak;

KP: "Wah, ini termasuk pencemaran nama baik. Selaku orang yang bernama Daeng Rewa, saya tertawa. Salam Takzim, Bung." (tanpa emotikon).

RG: Wahh, maaf pak kalau kebetulan Namanya sama, Rewa dalam bahasa Makassar artinya berani, sementara Malla berarti takut.." (emotikon permohonan maaf plus gugup).

Baca juga: Daeng Rewa yang Takut Mati dan Daeng Malla yang Pura-pura Berani.

Jelas sebagai newbie, saya itu takut sekali kena semprot Kompasianer yang konon galak-galak. Apalagi beliau adalah orang Makassar. Bukan karena orang Makassar lebih galak, tapi masa sih sebagai orang Makassar lantas aku menyinggung perasaan sesama kompatriot sekampung? (pembelaan ala daeng malla).

Yauda... Untuk beberapa saat semuanya menjadi hening...

Hingga akhirnya aku dan dia mulai rajin berkunjung ke laman masing-masing. Melepaskan keakrabanku dengan Oji yang kukira "lebih enak digauli."

Otak masih terus mencerna karya-karyanya yang membuatku terpana sekaligus memaknai kebodohan diri akan literasi. Kata-kata "anggit, mengejentawahkan, sisik-melik," semuanya tidak terdeteksi dalam nalar bahasa Indonesiaku.

Susasana semakin seram ketika beberapa artikel "protes," yang ia layangkan kepada beberapa kawan Kompasianer atas kesalahan kata-kata yang sudah terlanjur dibaca oleh ribuan orang se-Indonesia Raya.

Saya kira bagaimana Si Khrisna dalam pikiranku, adalah Daeng Khrsina yang sama di kepala pembaca. Kritis, tajam, dan tidak segan-segan membantai siapapun yang tidak menghormati bahasa Indonesia dengan baik dan benar.

Apapun yang seram, pantas disematkan. Penulis ini sudah menyelesaikan beberapa novel kelas nasional (dan juga dunia). Salah satunya adalah "Sepatu Dahlan," yang terinspirasi oleh kisah hidup Dahlan Iskan.

Ia menyelesaikan 330 halaman dalam 10 hari. Jangankan "sepatu," di bidang literasi, menyelesaikan "sendal jepit" dengan 700 kata saja mungkin saya butuh waktu berhari-hari lamanya.

Hingga suatu hari, tepatnya pada tanggal 21 September 2020, saya mendapat pesan pada fitur chat Kompasiana yang dikirimkan oleh Elang Salamina.

"Bro, mau gabung di grup WA gak, banyak kawan-kawan Kompasianer di sana."

Tanpa pikir panjang, saya langsung mengiyakan. Ternyata grup WA misterius ini adalah komunitas yang menamakan diri sebagai KPB (Kompasianer Penulis Berbalas), dan berisikan nama-nama yang sebelumnya sudah sering berinteraksi di Kompasiana. Termasuk Khrisna Pabichara.

Kembali kepada tajuk "Menulis Bersama Khrisna Pabichara."

Mba Anis Hidayatie sebagai salah satu inisiator mulai merayu para penulis di Kompasiana untuk bergabung bersama yang ia katakan sebagai "momen indah yang akan bisa dirasakan."

Baca juga: Hanya menjadi Kompasianer Sudah Bisa Mengikuti Kelas Khrisna Pabhicara, Saya Suka-Saya Suka.

Anis Hidayatie meyakinkan dengan nasehatnya "tua tidak menghalangi dirinya untuk berburu ilmu untuk perbaikan kemampuan." Selain itu, beliau juga mengharapkan agar momen ini dapat dilihat sebagai sebuah kesempatan emas tanpa harus mengedepankan gengsi atau perasaan tidak suka terhadap siapapun yang terlibat.

"Jangan pula minder dengan orang-orang yang sudah mengajukan diri jadi peserta," yang ia contohkan dari Kompasianer Abdul Azis yang merasa minder karena merasa masih kurang.

Atau dengan kata lain, kalau memang minder karena belum terlalu "basah," yang sekalian saja "nyebur" di kolam ikan. Toh "kering" juga bukan hal yang bagus untuk literasi, apalagi Kamasutra. Cocok?

Daeng Khrisna itu asetnya Indonesia. Menjadi top 5 influencer Bahasa Indonesia bukan perkara mudah. Daripada engkau sembunyi-sembunyi belajar dari tulisannya di Kompasiana, kenapa tidak sekalian saja bincang-bincang langsung.

Syarat yang diberikan pun mudah, hanya perlu menjadi Kompasianer dan menyediakan kuota atau nunut WiFi tidak bebayar. Coba kurang apa lagi si Daeng KP yang mencintai bahasa Indonesia ini.

Kalau Mba Anis mengatakan ia sering berkaca-kaca membaca tulisan sang Daeng ini, saya mah tidak setuju. Keringat dingin adalah kata benda (atau kata kerja) yang lebih cocok mewakili perasaanku. Bukannya gemetaran, tapi karena saya berusaha rakus membaca, seperti yang ia sering sebutkan.

"Unjuk Gigih dulu baru Unjuk Gigi."

Ini adalah tema di hari pertama kelas Khrisna Pabichara. Menurutnya, unjuk gigi adalah semangat menggebu-gebu. Sayangnya tanpa gigih, belajar menulis hanya akan menyisakan waktu yang terbuang dengan percuma. Gigih yang dimaksud adalah keinginan keras untuk belajar dan menunjukkan perubahan dari hasil belajar.

"Baiklah. Ronde pertama akan kita mulai. Saya berharap teman-teman menuliskan deskripsi atau gambaran ringkas tentang siapa diri kalian, seperti makanan favorit, bacaan favorit, atau hal lain yang menurut kalian patut diceritakan. Deskripsi diri tersebut setidaknya dalam satu kalimat dengan jumlah sekurang-kurangnya 50 kata."

Sekitar 30 tulisan perkenalan diri ditulis oleh peserta. Satu persatu dijawab dengan lugas oleh Daeng Khrisna. Aku pun turut membacanya, namun tidak ikut nimbrung. Sebabnya sedang menemani tamu yang asyik mempromosikan produknya.

"Maaf, saya masih dengan tamu."

"Bukan alasan, pokoknya harus tulis."

Sentilan ketikan Daeng KP cukup membuat kreatifitasku melonjak. Izin ke WC dengan alasan sakit perut menjadi tanda bahwa diriku cukup mempunyai "gigih" dalam mengikuti kelasnya. Sekitar puluhan kata akupun layangkan dalam kelas yang sudah meninggalkan ratusan chat belum terbaca.

Diriku termenung membaca komentar dari Daeng KP terhadap setiap tulisan dan pertanyaan. Semuanya dikoreksi tanpa reduksi. Kerja keras pun membuahkan hasil. Semakin banyak yang piawai mengubah ulang salam perkenalannya, hingga mampu memuaskan isi otak sang Daeng ini.

Melihat daftar peserta, isinya adalah para centang biru langganan AU. Semuanya manut tanpa urut. Hati bergolak bagai pisang dikolak. Sejauh itukah kualitas kasta biru di Kompasiana? Masih bikin banyak kesalahan!

Namun semuanya tenang dan dengan patuh mengetik instruksi sang Daeng. Tanpa sangsi apalagi gengsi. Menghilangkan sekat atas harga diri yang memang belum cukup mengejentawahkan kemampuan literasi.

Bagaimana dengan diriku?

Jujur ya, inilah untungnya terlahir sebagai sesama Daeng dari Makassar. Kita sebenarnya sudah banyak "kong-kali-kong" berdiskusi cara menulis yang baik dan benar. Kami sudah sering mengeja kata, merupa kalimat lewat chat pribadi. Ia dengan tulus selalu membimbingku, hingga akhirnya aku mampu mencapai penulisan yang sedikit lebih bagus dibandingkan kemampuanku yang dulu.

Ia bahkan pernah membuat esai dengan judul, "Mengeja Logika Menalar dan Menulis, Bung Rudy: Sebuah Tilikan Ringan."

Jangan terkecoh dengan kata "Ringan," karena esai tersebut mampu dengan lugas menelanjangi diriku. Isinya apa? Tidak perlulah dibuka!

Apakah tilikan ringan yang ditulisnya ini lantas membuat kemampuan menulisku meningkat? Tidak, karena aku belum menjadi pembaca yang rakus seperti dirinya.

**

"Mengapa kita perlu membiasakan diri membaca? Tiada lain hanya dengan membacalah maka isi gudang kosakata kita bertambah dan bilik imajinasi kita terus bertumbuh. Mengapa kita perlu membaca perasaan rekan belajar? Tiada lain karena kita menginginkan suasana belajar yang menyenangkan, mengenyangkan, dan menenangkan. Tiada guna kita banyak ilmu apabila perasaan orang lain kita luluh lantakkan." ~ Khrisna Pabichara.

Sudah dulu ya, kelasnya sudah mau mulai nih...

 

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun