Yauda... Untuk beberapa saat semuanya menjadi hening...
Hingga akhirnya aku dan dia mulai rajin berkunjung ke laman masing-masing. Melepaskan keakrabanku dengan Oji yang kukira "lebih enak digauli."
Otak masih terus mencerna karya-karyanya yang membuatku terpana sekaligus memaknai kebodohan diri akan literasi. Kata-kata "anggit, mengejentawahkan, sisik-melik,"Â semuanya tidak terdeteksi dalam nalar bahasa Indonesiaku.
Susasana semakin seram ketika beberapa artikel "protes," yang ia layangkan kepada beberapa kawan Kompasianer atas kesalahan kata-kata yang sudah terlanjur dibaca oleh ribuan orang se-Indonesia Raya.
Saya kira bagaimana Si Khrisna dalam pikiranku, adalah Daeng Khrsina yang sama di kepala pembaca. Kritis, tajam, dan tidak segan-segan membantai siapapun yang tidak menghormati bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Apapun yang seram, pantas disematkan. Penulis ini sudah menyelesaikan beberapa novel kelas nasional (dan juga dunia). Salah satunya adalah "Sepatu Dahlan," yang terinspirasi oleh kisah hidup Dahlan Iskan.
Ia menyelesaikan 330 halaman dalam 10 hari. Jangankan "sepatu," di bidang literasi, menyelesaikan "sendal jepit" dengan 700 kata saja mungkin saya butuh waktu berhari-hari lamanya.
Hingga suatu hari, tepatnya pada tanggal 21 September 2020, saya mendapat pesan pada fitur chat Kompasiana yang dikirimkan oleh Elang Salamina.
"Bro, mau gabung di grup WA gak, banyak kawan-kawan Kompasianer di sana."
Tanpa pikir panjang, saya langsung mengiyakan. Ternyata grup WA misterius ini adalah komunitas yang menamakan diri sebagai KPB (Kompasianer Penulis Berbalas), dan berisikan nama-nama yang sebelumnya sudah sering berinteraksi di Kompasiana. Termasuk Khrisna Pabichara.
Kembali kepada tajuk "Menulis Bersama Khrisna Pabichara."