Semua orang suka makan, tapi tidak perlulah berlebihan. Selain bikin perut sakit dan membawa macam penyakit, sampah yang terbuang dari sisa makanan, mampu membawa Indonesia ke kancah prestasi dunia.
Berdasarkan Food Sustainability Indeks 2017, Indonesia menempati urutan kedua dan hanya kalah dari Arab Saudi untuk kategori limbah makanan yang terbuang. (health.detik).
Pesan orangtua, jangan membuang-buang makanan. Tidak eloklah terlihat, apalagi dengan pertimbangan masih banyak orang kelaparan di dunia ini. Kata nenek sih dosa, tapi lebih tepatnya kehilangan empati terhadap sesama.Â
Pada posisi kedua, Indonesia disebut memboroskan 300 kilogram makanan per orang per tahun. Angka yang luar biasa. Padahal di sisi lain, angka kelaparan di Indonesia masih cukup serius. Sebuah data yang dirilis oleh Global Hunger Index pada tahun 2019, menyatakan bahwa masih ada sekitar 22 juta orang Indonesia yang menderita kelaparan.
Jelas, pemborosan makanan adalah hal yang tidak bijak. Tanpa disadari, semua yang kita yakini tentang makanan adalah awal dari pemborosan. Untuk itu, maka ada baiknya kembali kepada diri sendiri.
Merayakan Kesedihan dengan Makanan
Setelah lelah bekerja seharian, tidakkah terasa enak memanjakan diri dengan makanan lezat? Atau ketika kamu sedih, akankah terasa nyaman melampiaskannya dengan makanan? Ini belum termasuk jika kamu bahagia, pesta makan-makan rasanya pas deh.
Sepanjang makanan yang dibeli dapat dihabiskan, tidak masalah. Yang jadi kendala adalah lebih banyak yang tersisa daripada yang dihabiskan. Belum lagi makanan rumah yang disediakan ibu, sering tidak tersentuh karena kamu sudah kenyang duluan. Â
Kenali Jebakan Restauran
Porsi makanan di luar rumah pada umumnya lebih besar dari yang biasa dimakan. Hal ini dilakukan agar rumah makan tidak mendapat kritikan dari mereka yang berporsi besar. Akibatnya, sepiring nasi goreng kadang tidak habis dimakan.
Selain itu, berbagai jenis kuliner yang tersedia di menu dengan foto yang menggiurkan plus harga promosi, membuat mata dan perut pun tak tertahankan. Semuanya dipesan tanpa memedulikan apakah sanggup dimakan habis.
Membahagikan Tamu
Penulis memiliki seorang kawan yang jika mengundang makan, gemar memesan banyak jenis makanan. Herannya, porsi makannya sendiri tidaklah banyak. Usut punya usut, ternyata ia hanya senang mencicipi makanan saja, dan selebihnya adalah tugas dari tamunya untuk menghabiskan.
Ada juga seorang sahabat yang melakukan hal yang sama untuk tujuan lain. Baginya tamu adalah raja. mengundang tamu makan, jumlah makanan harus banyak. Namun sayangnya ia tidak pernah mempertimbangkan kapasitas perut tamunya. Makanan pun enggan dibungkus dengan alasan tidak sopan.
Perilaku Konsumtif
Si Atong baru saja menerima gaji. Ia berbelanja kebutuhan sehari-harinya di supermarket, termasuk sebatang coklat kelihatannya lezat. Sesampainya di rumah, ternyata coklat tersebut tidak sesuai dengan seleranya. Tanpa pikir panjang, si Atong langsung memasukkannya ke dalam tong sampah.
Perilaku konsumtif pada dasarnya tidak disadari. Umumnya merupakan impulsive buying (pembelian impulsif). Itulah mengapa kita kerap mendapatkan jumlah barang yang ingin dibeli melampaui apa yang berada dalam keranjang belanja. Apapun akan terasa enak jika terpampang di toko, khususnya jika belanja bulanan dianggap sebagai bagian dari rekreasi keluarga.
Seorang teman di Jakarta menyiasati hal ini dengan menugaskan asisten rumah tangganya untuk belanja bulanan. Ia hanya butuh membeli barang yang sudah tertera pada daftar yang diberikan. Aman dari perilaku konsumtif, dan menghindari pemborosan.
Menyediakan Persediaan Makanan di Rumah
Makanan yang terbuang bukan hanya yang tampak di atas piring. Segala sesuatu yang berada di dalam rumah yang belum sempat dimakan akan berpotensi menjadi limbah makanan.
Pada saat membeli makanan, biasanya kita akan menyediakan stok untuk beberapa hari hingga beberapa minggu. Namun sayangnya, kadang dilakukan tanpa perencanaan sehingga apa yang dibeli kadang hanya akan berakhir sebagai limbah. Batas waktu kadaluarsa tidak lagi diperhatikan.
**
Keyakinan kita terhadap makanan adalah sebuah paradoks. Makanan harus dihargai karena susah didapatkan, namun sah-sah saja menghamburkannya karena itu adalah simbol kelebihan. Cukup sampai di sini.
Selain limbah makanan yang sangat berpotensi menyebabkan kerusakan lingkungan, mengonsumsi makanan berlebihan juga tidak sehat bagi tubuh.
Riset dari Kementerian Kesehatan, menyatakan bahwa Penyakit Tidak Menular (PTM), seperti stroke, jantung, diabetes, yang biasanya dialami oleh penduduk lanjut usia, kini sudah semakin banyak ditemukan pada usia produktif. Semuanya berawal dari pola makan yang tidak sehat.
Dengan fakta bahwa masih ada 22 juta penduduk Indonesia yang kelaparan, kondisi ketahanan pangan negara kita juga "tidak baik-baik amat."
Batu-baru ini, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan melalui akun @luhut.pandjaitan mengatakan bahwa meskipun indeks ketahanan pangan nasional Indonesia naik, nyatanya masih ada peningkatan jumlah impor bahan pangan setiap tahun. Krisis pangan global sudah mengintai dari jauh. Akan sangat berbahaya bagi negara kita yang sistem ketahanan pangannya masih termasuk rapuh.
Menghadapi Krisis Pangan GlobalÂ
Beberapa negara sudah mengambil aksi untuk menghadapi Krisis Pangan Global. Presiden China Xi Jinping meminta warganya untuk mempertahankan rasa krisis tentang keamanan pangan. Ia mengatakan bahwa panen besar-besaran telah mengikuti peningkatan signifikan pada limbah makanan.
Berbagai cara ditempuh dan dimulai dari menghukum pejabat negara yang kedapatan memesan makanan berlebihan di restoran. Selain itu, limbah makanan juga dijadikan kriteria untuk mengevaluasi izin industri pariwisata dan catering.
Bahkan ide video mukbang yang mempertontonkan selera makan yang berlebihan juga dilarang. Mereka yang kedapatan mengunggah video ini akan dihukum oleh negara.
Perancis telah menerapkan pelarangan terhadap toko-toko swalayan untuk membuang atau menghancurkan makanan yang tidak terjual. Pemerintah memaksa mereka untuk menyumbangkannya ke Lembaga-lembaga sosial. Aturan yang resmi berlaku sejak 2016 ini mengenakan denda bagi yang tidak patuh sebesar 3.750 euro.
Di Korea Selatan, siapapun yang tidak menghabiskan sisa makanannya akan dikenakan biaya tambahan. Di Jepang dan Singapura, menghemat makanan sudah menjadi bagian penting dari kurikulum pendidikan. Anak-anak telah diajarkan sejak dini, sebagai bagian dari budaya sehat. Sementara Inggris dan Jerman, saat ini sedang menggodok RUU baru mengenai pemborosan makanan.
Indonesia mungkin belum mengambil langkah signifikan yang mengarah ke pemborosan makanan. Kendati demikian, kita seharusnya bisa mulai dari diri sendiri. Agama apapun mengajarkan kita untuk beramal kepada fakir miskin. Dengan kenyataan masih banyak penduduk kelaparan di Indonesia, maka cara termudah untuk beramal adalah dimulai dengan tidak menghambur-hamburkan makanan. Â Â
***
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI