Pemilu Bersama akan diselenggarakan pada hari Rabu tanggal 9 Desember 2020. Sebanyak 270 daerah di Indonesia akan merayakannya. Sebagai warga negara yang baik, tentunya hak pilih kita sangat diharapkan untuk memberikan warna pada demokrasi.
Sebuah artikel dari media online lokal dikirimkan oleh seorang kawan bernama Juklak (nama samaran). Ia adalah pendukung salah satu calon walikota Makassar. Judulnya adalah, "Cium Aroma Kekalahan (salah satu calon walikota) Utus Orang Dekatnya Bagi-Bagi Uang." Jelas yang dituduh adalah calon walikota yang bukan pilihannya.
Berbincang tentang politik uang menjelang pemilu tentu bukan rahasia lagi. Bagi publik, kekuatan logistik paslon bukan hanya pendanaan kampanye saja, namun juga sudah termasuk "waninya piro."
Begitu pula dengan para mantan caleg yang gagal dalam pertarungan. Alasan yang terutama adalah "ia gak punya uang bro."
Semenjak pemilihan umum secara langsung berlaku di Indonesia, politik uang selalu menjadi lahan basah bagi jual-beli suara. Cobalah bertanya secara acak kepada orang di sekitarmu. Tidak jarang yang mengharapkan "bagi-bagi hadiah'Â pada malam atau subuh menjelang pemilu berlangsung.
Entah apa yang terjadi, politik uang sepertinya menjadi sebuah keharusan bagi mereka yang ingin berkuasa. Lucunya lagi, warga pemilik hak suara pun seakan-akan mengayomi ritual ini.
**
Jumat, 4 Desember 2020, Bupati Banggai Laut, Sulawesi Tengah, Wenny Bukamko ditetapkan tersangka oleh KPK, terkait kasis dugaan suap pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemkab Banggai Laut tahun anggaran 2020.
Barang bukti yang disita oleh KPK adalah uang sejumlah 2 miliar rupiah yang diduga kuat sebagai logistik serangan fajar yang akan dilakukan oleh sang petahana. Hal ini membuktikan bahwa pemilu kali ini juga akan diwarnai dengan politik uang.
Ketentuan hukum terhadap politik uang sudah marak terjadi, meskipun menurut UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, peserta pemilu yang terbukti melakukan politik yang bisa didiskualifikasi dan dikenakan hukuman berat.
Bawaslu sebagai otoritas pengawas pelaksanaan Pemilu tertinggi, sudah melakukan banyak hal, termasuk mengintesifikasi patroli pengawasan untuk memantau serangan fajar. Namun tetap saja, bagai angin berlalu, urusan ini masih menjadi hal yang sangat sering terjadi.
Indonesia Berada pada Urutan Ketiga Praktik Politik Uang
Meskipun demikian, apakah politik uang ini, masih efektif dalam menentukan pemenang? Tidak ada survei khusus yang menjelaskan hal ini. Tidak ada yang bisa memahami isi hati pemilih, siapakah calon yang dipilihnya.
Namun setiap suara pemilih bagi paslon sangatlah berharga. Meskipun belum terbukti, mereka yang melakukan serangan fajar harus membeli keyakinan bahwa hal yang wajib sudah dilakukan. Kalaupun tidak terpilih, penyesalan tidak akan diamini.
Perbedaan dan Persamaan Praktik Politik Uang
Sebuah bahasan mengenai politik uang ini dibahas seacara menarik pada buku "Kuasa Uang; Politik Uang dalam Pemilu Pasca Orde Baru,"Â karya Burhanuddin Muhtadi.
Ia mengungkapkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pada praktik politik uang antara daerah pedesaan dan perkotaan. Begitu pula secara demografis tidak ada perbedaan signifikan antara taraf pendidikan dan kemiskinan dalam hal pengalaman ditawari politik uang.
Pemilih yang berpendidikan tinggi dianggap tidak tergiur dengan politik uang, sementara penduduk di bawah garis kemiskinan dianggap rentan dengan serangan fajar. Menurut Burhanuddin, tidak banyak berpengaruh, tidak ada hubungan yang signifikan.
Sasaran kepada Pemilih Non Partisipan
Sasaran yang paling tepat aksi bagi-bagi uang ini lebih menyasar kepada para pemilih mengambang atau yang belum memutuskan. Hal ini berdasarkan fakta bahwa pemilih loyalis terhadap sebuah partai politik di Indonesia, relatif kecil, yaitu hanya berkisar 15% saja.
Namun demikian, menurut Burhanuddin, mereka yang masuk ke dalam kategori non partisipan juga tidak menjamin langsung memberikan suara kepada pemberi hadiah.
Sebuah contoh yang dikutip dari bbc.com, seorang warga Solo yang bernama Sriyanto pada tahun 2019 lalu. Ia mengaku telah tiga kali menerima uang jelang Pemilu dari tiga partai yang bertarung. Uang tersebut ia ambil, dan mencoblos ketiga-tiganya pada saat berada di bilik suara.
"Pas milih saya coblos tapi saya coblos semua. Lha sana (parpol yang memberikan uang) suruh coblos, ya saya coblos. Mbuh bener apa ndak saya ndak tahu." Ujar Sriyanto.
Sementara itu, warga Solo lainnya bernama Maya, mempunyai pendapat sendiri. Meskipun sudah menerima bingkisan dari caleg tertentu, ia tetap kekeuh memilih sesuai dengan pilihan hatinya sendiri.
Menariknya, dalam buku tersebut dijelaskan juga bahwa loyalis partai justru lebih cenderung menjadi target operasi politik uang. Kemungkinan besar karena hubungan dekatnya dengan partai, sehingga ia lebih mudah dikenali. Politik uang tidak akan memengaruhi hasil pilihannya, namun dianggap sebagai semacam parcel ucapan terima kasih.
Antara Keyakinan dan Dilema
Menurut Burhanuddin, efektivitas politik uang terhadap pilihan hanya berada pada kisaran 10%. Angkanya tidak terlalu besar, namun dalam sebuah kontestasi politik, justru rata-rata margin kemenangan berada di bawah angka 10% saja. Inilah salah satu alasan, mengapa politik uang masih dianggap penting bagi beberapa politikus.
Walaupun demikian, praktik politik uang tidak saja dipengaruhi oleh rasa sayang jika kalah tipis dari saingannya. Dilema ikut-ikutan juga menjadi arus besar yang menggiring para petarung.
Apalagi dalam suasana kampanye, tidak ada seorangpun yang ingin mengalah. Jumlah baliho harus sama banyak, jumlah kunjungan harus sama sering, demikian pula dengan jurus serangan fajar, harus sama kuat.
Dalam situasi 'fair play'Â berbagai usaha meninggikan elektoral bisa dilakukan secara adil. Namun jika salah satu saja dari para kandidat yang menjalankan politik kotor ini, maka dengan sendirinya komposisi elektoral akan berubah drastis.
Hal ini juga sejalan dengan narasi yang berkembang, bahwa politik uang adalah jalan yang terbaik untuk meningkatkan popularitas, meskipun tidak ada yang bisa dibuktikan secara jelas.
Kesadaran Politik yang Rendah
Konsep orbitan partai politik juga memperkisruh hal ini. Proses perekrutan Parpol kadang tidak mengandalkan kapasitas dan rekam jejak yang jelas. Sehingga calon-calon instan ini tidak percaya jika kampanye dan baliho cukup untuk menarik suara pemilih. Hal ini cukup memberi sebuah keyakinan bahwa politik uang adalah cara yang lebih efektif untuk meningkatkan elektoral. Â
Selain itu, pendidikan politik di Indonesia yang masih rendah juga bisa menjadi faktor lainnya. Jangankan kesadaran kedaulatan pemilih, untuk hadir ke TPU dan memberikan suara saja sudah dianggap sesuatu hal yang tidak berguna.
Berapa banyak warga yang sadar bahwa suara mereka sangat penting untuk menentukan nasib bangsa lima tahun ke depan? Masih banyak yang pesimis, siapapun yang terpilih, tidak akan memberikan perubahan dalam kehidupan sehari-hari.
Masyarakat kita masih belum sadar bahwa perubahan harus terjadi secara perlahan. Bagi sebagian, perubahan adalah hasil yang instan, dan politik uang adalah solusi, meskipun hanya demi sebungkus rokok gratis saja.
Bentuk Praktik Serangan Fajar
Dilansir dari bbc.com, merujuk kepada pemetaan yang dilakukan oleh ICW pada tahun 2014, model jual beli suara hadir bervariasi. Ada yang langsung diberikan oleh calon, ada yang melalui orang lain yang tidak punya kepentingan, dan ada juga yang terselebung dalam bentuk hadiah.
Modusnya biasanya datang door to door dan memberikan sesuatu yang dianggap bisa mengubah keputusan. Untuk uang tunai, besarannya beragam, mulai dari 20.000 rupiah hingga 300.000 rupiah.
Selain amplop, sembako juga sering menjadi pilihan. Pembagian sembako sebagai alasan bansos biasanya lebih murah dan dianggap tepat menyasar target ibu-ibu rumah tangga.
Namun demikian, ada juga uang atau barang dengan nilai yang lebih tinggi yang dijanjikan kepada seseorang yang dianggap bisa memengaruhi keputusan warganya. Hadiah tersebut bisa diberikan di depan atau dijanjikan di belakang, setelah hasil pemilu keluar.
Modus lainnya yang lebih canggih adalah politik uang dalam bentuk jaminan asuransi kecelakaan. Hal ini pernah ditemukan di tahun 2014. Caleg yang dimaksud kedapatan oleh Bawaslu memberikan asuransi bersamaan dengan penyerahan undangan C6Â atau undangan untuk mencoblos.
Wasana Kata
Tanggal 9 Desember 2020 adalah Pemilu Bersama yang terasa berbeda. Pandemi Covid 19 dengan kasus infeksi yang sudah menyentuh angka 564 ribu, memerlukan penanganan ekstra hati-hati dari seluruh pemangku kepentingan.
Suasana terasa menggiat, perdebatan terasa hangat, apakah para penderita covid-19 pantas dikunjungi demi selembar surat suara? Penulis tidak memberikan opini. Namun satu hal yang pasti, apakah praktik poitik uang juga akan terjadi di tempat isolasi? Hanya mereka yang berani pantas diberikan apresiasi.
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H