Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

7 Skenario Mengerikan Pilpres AS 2020: Biden Terbunuh dan Trump Salah Pencet Nuklir

7 November 2020   20:52 Diperbarui: 7 November 2020   20:53 1519
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Electoral Votes (sumber: tribunnews.com)

Pilpres Amerika Serikat (AS) sedang menuju tahapan akhir dari keputusan. Pertarungan antar dua kandidat terlalu dinamis untuk diabaikan. Saat tulisan ini dibuat, Joe Biden telah berhasil mengumpulkan 253 poin dari batas kemenangan 270 electoral votes, sementara petahana presiden Donald Trump masih berkutat pada angka 213 poin.

Dinamika yang sangat cepat terjadi pada 6 negara bagian yang belum menyelesaikan perhitungan, yaitu Pennsylvania (dengan 20 electoral votes) Arizona (11), Georgia (16), Nevada (6), North Carolina (15) dan Alaska (3).

Saat surat suara mulai dihitung, Biden memiliki peluang untuk mencapai angka 270 dengan penambahan suara dari Arizona dan Nevada. Sementara pihak Trump merasa cukup yakin dengan poin yang berasal dari 4 negara bagian lainnya.

Akan tetapi per Jumat 6 November 2020, situasi berubah drastis. Arizona yang dianggap aman oleh kubu Biden malah merosot tajam. Namun mereka juga bisa bernafas lega, setelah secara mengejutkan mengejar ketinggalan dan mengungguli suara Republik pada negara bagian Pennsylvania dan Georgia.

Memang ini bukanlah hasil resmi pemilu yang sah, dan hanya merupakan prediksi dari beberapa media. Pers biasanya sudah mengumumkan kemenangan pada negara bagian yang perbedaannya sudah terlalu jauh, atau memiliki kecenderungan kemenangan pada satu pihak. Itulah mengapa kita bisa melihat beberapa perbedaan atas posisi pertarungan pilpres ini.

Banyak skenario yang mungkin bisa terjadi, termasuk bagaimana jika gugatan hukum Trump diterima oleh Mahkamah Agung AS dan perhitungan ulang suara dilakukan? Atau sebaliknya, MA menolak gugatan dan Trump menolak menerima kekalahan.

Saat ini setidaknya sudah ada 4 negara bagian yang harus bersiap-siap, yaitu Wisconsin, Michigan, Georgia, dan Pennsylvania. Namun sebelum ini terjadi, berbagai tuduhan kecurangan yang juga diklaim tanpa bukti membuat situasi semakin tidak kondusif. Pidato kemenangan yang diumumkan terlalu dini, membuat para pendukung Trump yakin, bahwa kecurangan pasti terjadi.

Apa yang ditunjukkan oleh Trump adalah sebuah sikap yang tidak mau kalah dari dirinya juga terkenal temperamental, kepala batu, dan terkesan "seenak udel sendiri."

Nah, di tengah kekisruhan, petahana bisa saja menempuh berbagai cara untuk memenangkan pemilu. Mari kita berandai-andai, jika ternyata ada semacam situasi yang tidak terduga di negeri Paman Sam ini sehingga menimbulkan kekisruhan besar. Apakah yang akan terjadi? Mari kita ulik bersama.

Perhitungan Suara dan Jumlah Electoral Votes yang Seimbang

Ilustrasi Electoral Votes (sumber: tribunnews.com)
Ilustrasi Electoral Votes (sumber: tribunnews.com)
Hal yang paling mudah tentunya adalah perhitungan ulang suara. Usaha ini sudah menjadi bagian dari strategi Trump untuk mengklaim kemenangan. Pada pilpres kali ini, ada beberapa negara bagian yang dimenangkan secara tipis oleh Biden.

Perhitungan suara dapat dilakukan terhadap kondisi ini. Beberapa negara bagian menjadikannya sebagai undang-undang. Georgia termasuk salah satu yang telah memutuskan untuk melakukannya dengan perbedaan suara yang hanya berkisar 1,500 suara (kurang dari 1%).

Selain itu, jika ada indikasi kecurangan yang dapat dibuktikan oleh salah satu pihak, maka perhitungan suara bisa juga dilakukan, atau bahkan tidak tertutup kemungkinan, pemilu dapat diulang lagi.

Namun pertanyaan akan jadi sulit jika kedua pihak sama-sama mendapatkan 269 dari 538 electoral votes. Meskipun sangat kecil kemungkinannya, namun konstitusi di AS telah menetapkannya. Jika hal ini terjadi, maka presiden akan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat AS (House of Representatives) dan wakil presiden akan dipilih oleh senat.

Dalam sejarah AS, hal ini sudah pernah terjadi sekali pada tahun 1800 pada saat Jefferson dan Burr masing-masing memiliki 73 suara dari total 146 electoral votes pada saat itu, dan DPR akhirnya memilih Thomas Jefferson sebagai pemenangnya.

Pemakzulan dan Pengunduran Diri Presiden
Pemakzulan Bill Clinton 1999 (sumber: nbcnews.com)
Pemakzulan Bill Clinton 1999 (sumber: nbcnews.com)

Seandainya, Trump memenangkan pertarungan dan melanjutkan masa jabatan presidennya, lantas mengundurkan diri di tengah jalan, apakah yang terjadi?

Karakter Donald Trump yang terkenal keras tidak mungkin melakukannya, kecuali jika (mungkin) ia dimakzulkan. Undang-undang AS tidak pernah membatasi jumlah sidang pemakzulan bagi seorang presiden. Sepanjang DPR dan Senat menyetujuinya.

Dalam sejarah, Donald Trump adalah presiden ke-3 yang menghadapi sidang ini pada 2019 lalu, selain Andrew Johnson (1868) dan Bill Clinton (1999). Kedua presiden sebelumnya selamat dan tidak sampai dilengserkan. Tetapi jika Trump tidak selamat, maka Mike Pence lah yang akan menggantikannya sebagai presiden.

Jika Biden Menang dan Trump Tidak Mengaku Kalah
Ilustrasi (sumber: dunia.tempo.co)
Ilustrasi (sumber: dunia.tempo.co)

Bisa saja terjadi. Trump menolak menerima kekalahannya di Pilpres dan menolak meninggalkan Gedung Putih. Hal ini berarti bahwa Trump telah mencoreng supremasi hukum dan melawan konstitusi.

Namun hal ini hanya akan terjadi pada tanggal 20 Januari mendatang, di saat dirinya sudah resmi tidak lagi menjabat sebagai Presiden AS. Skenario satu-satunya jika diplomasi tidak terjadi, maka Biden sebagai panglima tertinggi AS berhak memerintahkan militer untuk menyingkirkan Trump dari Gedung Putih.

Jelas tidak mudah, karena selain akan mencoreng wajah demokrasi AS, Trump juga memiliki banyak pendukung yang militan. Apakah perang sipil akan terjadi? Banyak pihak yang mengkhwatirkannya.

Bisakah Trump Lolos dari Tuntutan Hukum

Trump dan Stormy Daniels (sumber: cnn.com)
Trump dan Stormy Daniels (sumber: cnn.com)
Banyak spekulasi yang beredar tentang motif Trump yang ngotot berada di Gedung Putih untuk 4 tahun ke depan lagi. Salah satunya adalah untuk menghindari berbagai tuntutan hukum yang menantinya, jika ia tidak lagi menjadi Presiden AS.

Sebagai Presiden, bukan berarti dirinya kebal hukum. Namun atas nama keamanan negara, maka presiden bisa mengajukan penundaan investigasi dan tuntutan hukum. Namun sebagai warga negara biasa, Trump tentu bisa menerima hukuman jika terbukti bersakah, meskipun dalam sejarah AS, belum ada satupun presiden AS yang pernah masuk penjara.  

Perlu diketahui bahwa saat ini, Trump telah menunggu segudang investigasi dan kemungkinan berakhir di balik jeruji. Tindak kriminal yang sedang diselidiki meliputi uang suap, penipuan asuransi, penggelapan pajak, pelanggaran dana kampanye, kesepakatan bisnis illegal, hingga pelecehan seksual terhadap Stormy Daniels, seorang bintang film porno. 

Jika Joe Biden Terbunuh

Foto Presiden AS, JFK sesaat sebelum terbunuh (sumber: history.com)
Foto Presiden AS, JFK sesaat sebelum terbunuh (sumber: history.com)
Sejak Jumat 6 November 2020, peningkatan keamanan berupa penambahan personel Paspampres AS dan larangan penerbangan sipil di atas rumah Joe Biden di negara bagian Delaware, telah diberlakukan.

Pilpres menjadi sengit, sehingga ada urgensi untuk melindungi nyawa calon presiden ini. Pembunuhan atau percobaan pembunuhan presiden di AS bukan hal baru lagi. Tidak tertutup kemungkinan, para pendukung fanatik Trump bisa melakukannya, atau juga skenario teori konspirasi yang didalangi oleh Trump yang tidak mudah menyerah.

Jika hal ini terjadi sekarang pada saat perhitungan suara tengah berlangsung dan Biden menang, maka Kamala Harris-lah yang akan menjabat sebagai presiden. 

Nah, jika ternyata bukan Joe Biden saja yang meninggal, namun juga cawapres Harris, maka per tanggal 20 Januari 2021, undang-undang darurat akan diberlakukan.

Dikutip dari laman resmi Pemerintah AS, berdasarkan amandemen ke-25 Konstitusi AS dan Undang-Undang Suksesi Presiden tahun 1947, jika Presiden dan Wapres tidak mampu menjabat karena alasan apapun, maka jabatan presiden akan jatuh ke tangan Ketua DPR atau Ketua Senat sebagai presiden sementara.

Saat ini perebutan kursi DPR dan Senat AS juga masih berlangsung sengit. Partai Demokrat dan Republik sama-sama berambisi menguasai dua lembaga tersebut.

Hingga tanggal 6 November, kedua kubu berada pada posisi yang seimbang pada 48 kursi, dengan angka 51 untuk menguasai senat. Sementara untuk perebutan kursi DPR AS, Demokrat masih unggul tipis dengan 180 melawan 173 kursi dari partai Republik.

Nah, tentu jika partai Republik menguasai kedua Lembaga ini, akan lebih mudah bagi Trump untuk merundingkan nasibnya.

Bagaimana Jika Trump Kalah dan Melarikan Diri dari AS?

Tweet Donald Trump (sumber: businesstoday.in)
Tweet Donald Trump (sumber: businesstoday.in)
Katanya sih, barusan ini Trump membuat sebuah cuitan pada twitter "If Biden somehow manages to win this election, you won't see me again, I'll simply leave the country!" (Jika Biden memenangkan pemilu ini, kamu tak akan melihatku lagi, saya akan meninggalkan negara ini).

Cuitan ini lantas dibalas oleh Biden dengan "Bi den" yang merupakan namanya yang terpisah, namun secara fonetik bisa juga berbunyi "bye then" atau "selamat jalan kalau begitu." Cuitan ini bukan yang pertama kali, dalam kampanye Trump di negara bagian Georgia lalu, Trump juga telah melakukannya dalam bentuk lelucon. 

Akan tetapi, bagaimana jika betul, Trump kalah dan tidak bisa menahan laju investigasi dan tuduhan kriminal terhadap dirinya? Akankah dia melarikan diri dari Amerika Serikat?

Jika dilihat dari jumlah kekayaan serta jaringan internasional yang ia miliki, dan Trump benar-benar serius, maka bisa saja hal ini terjadi. Namun tentu, ia harus lari ke negara yang tidak memiliki perjanjian ekstradisi, atau bahkan negara yang merupakan musuh AS.

Ditambah lagi dengan statusnya sebagai mantan orang nomor 1 di AS, maka tentu banyak rahasia negara yang ia ketahui. Hal ini akan menjadi sebuah daya tawar bagi negara adidaya lainnya, seperti Rusia atau China.

Dan juga bisa menjadi sangat menggiurkan bagi negara dengan ambisi besar, seperti Korea Utara atau Iran. Masalahnya, akankah negara sekuat AS membiarkan Trump melarikan diri dan membocorkan rahasia negara dan mempermalukan mereka? Atau apakah Trump mau menerima suaka dari Kim Jong-un? Wallahualam!

Apa yang Terjadi jika Trump Mendeklarasikan Keadaan Darurat?

Ilustrasi Perang Nuklir (sumber: newatlas.com)
Ilustrasi Perang Nuklir (sumber: newatlas.com)
Ini mungkin hasil pemikiran terburuk dari kepala penulis. Apakah mungkin Donald Trump melakukan hal yang konyol seperti mendeklarasikan perang dunia selama sisa jabatannya di Gedung Putih? Seperti yang diketahui sekarang, di tengah pandemi yang sedang melanda, masih ada konflik internasional hangat yang melibatkan Amerika Serikat.

Salah satunya adalah pertikaian wilayah di Laut China Selatan yang melibatkan China dan beberapa negara di Kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Hal ini telah dianalisis dengan sangat apik oleh Kompasianer Indra Rahadian pada artikelnya yang berjudul, "Meme For Biden, Menanti Aksi Joe Biden di Laut China Selatan" (klik).

Selain itu, hubungan panas dingin antara AS dan Korea Utara juga bisa memicu provokasi, jika salah satu dari kedua negara ini melakukan tindakan yang lebih jauh. Belum lagi konflik yang pernah muncul pada awal tahun 2020, di saat rudal AS membunuh Qassem Soleimani, seorang komandan elit Iran dengan alasan untuk meredam usaha beresiko yang membahayakan warganya di kawasan tersebut.

Jika tensi hubungan di ketiga wilayah ini diprovokasi oleh Trump yang menggunakan kekuatan jarinya untuk menekan tombol nuklir, maka tidak tertutup kemungkinan akan terjadi konflik dunia yang berkepanjangan.  

Nah, apakah jika Perang Dunia terjadi sebelum Trump turun tahta, akan memberikannya hak ekslusif baginya untuk tetap memimpin hingga keadaan menjadi tenang kembali? Penulis tidak tahu, namun menarik untuk mengetahuinya hanya untuk mengukur sejauh mana kenekatan dari Donald Trump yang telah mendeklarasikan "total war" (peperangan penuh) terhadap Biden.

Referensi: 1 2 3 4 5 6

SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun