Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kisah Perjalanan ke Barat, Naskah Asli Tanpa Sang Kera Sakti

9 Oktober 2020   12:02 Diperbarui: 27 Mei 2021   14:10 5277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kisah Perjalanan ke Barat (sumber: samaggi-phala.or.id)

Pemahaman kebencian disini adalah sikap yang tidak suka terhadap seseorang, sesuatu, bahkan termasuk diri sendiri. Tidak saja hanya dalam bentuk dendam kesumat dan luapan emosi, namun juga dalam bentuk penolakan-penolakan lainnya yang lebih halus.

Sikap kebencian ini, jika tidak disadari akan membuat manusia lumrah terhadap penolakan, sehingga ketakutan, rasa cemas, kegelisahan atas hal yang tidak disenangi akan terus menghampiri.

Lebih jauh lagi, sikap penolakan akibat kebencian akan menimbulkan sakit hati terhadap kegagalan diri sendiri dan iri hati, cemburu, sirik, atas keberhasilan orang lain.

Dalam kisah tersebut, disebutkan juga jika Sang Kera Sakti mulai menjadi liar, dan tidak terkontrol, maka Biksu Tong akan membacakan mantra pemberian Dewi Kuan-yin (Avaloekitsevara Bodhisattva) yang tidak lain, tidak bukan mewakili Metta atau Kasih Sayang tidak terhingga.

Sementara Biksu Tong sendiri mewakili kesadaran akan hukum alam bahwa segala sesuatu akan berakibat, yang juga bisa mewakili Hukum Karma.

Tidak lupa juga jubah sakti yang dikenakan oleh Biksu Tong yang mampu memberikan perlindungan luar biasa selama perjalanan, ternyata melambangkan kesucian.

Hal ini bermakna bahwa jika manusia mampu menjaga pikiran, ucapan, dan tindakannya, maka hal tersebut akan melindungi dirinya dari segala marabahaya.

Wasana Kata

Kelebihan dari sastra kuno yang bisa bertahan hingga kini, adalah relevansinya dengan kehidupan yang terus mengalami perubahan.

Semuanya menggambarkan bagaimana para moyang kita memaknai nilai kehidupan yang tinggi, yang dapat diwariskan dalam bentuk pengetahuan bersama secara umum.

Manusia dalam perjalanan sejarah yang panjang, telah berubah menjadi semakin kompleks. Segala keburukan telah bermanifestasi dalam bentuk moderninsasi yang kadang tertutup atas nama keterpaksaan.

Padahal, seharusnya naluri dan watak manusia tidaklah mengalami perubahan. Sifat kita yang luhur sudah mengalami banyak alterasi terhadap cara pandang manusia terhadap kotoran batin, sebagaimana yang dilambangkan oleh Tiga Akar Kejahatan.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun