Meskipun kadang, berita duka cita justru membawa kebahagiaan. Apalagi jika yang meninggal, adalah seorang koruptor kelas kakap. Ayo, siapa yang tidak sedih?
Belajar merasakan kesedihan orang lain, akan membuat diri sadar, bahwa kita tidak bisa hidup tanpa kawan. Dan di saat yang sama, berfungsi sebagai pengingat terhadap penderitaan diri sendiri untuk merasakan belas kasihan bagi orang-orang yang sedang tidak bahagia.
Muditta: Simpati terhadap Kebahagiaan.
Sama halnya dengan kesedihan, kebahagiaan juga memiliki takaran yang beragam, dan terasa berbeda bagi setiap orang yang menanggapinya.
Pada umumnya, berita bahagia akan mendapat respons positif, "selamat ya, wah keren, anjay," dan lain sebagainya.
Mulut bisa memuji, tapi pergolakan batin terjadi disini. Bukannya kebahagiaan, malah beribu macam perasaan pun bermunculan, seperti, cemburu, risau, gelisah, "kenapa bukan aku, andaikan aku, gak adil, kok harus dia sih... de el el".
Namun, akan terasa berbeda, jika kabar gembira itu berhubungan dengan diri, baik secara langsung maupun tidak.
"Wah keren, si Benny capai target perusahaan, bonusnya gede! Ini berarti, akan ada pesta makan-makan lagi dong... Horeeee!"
Bersikap Muditta mendorong diri kita untuk menemukan hal yang baik pada orang lain. Turut bersuka cita dengan kebahagiaan yang dirasakan oleh orang lain.
Tidak melihat kesuksesan sebagai kompetisi, atau disikapi dengan perasaan cemburu atau frustasi dalam diri.
Dengan kata lain, sikap ini mengajarkan untuk menggunakan kebahagiaan dan kesuksesan orang lain sebagai sebuah inspirasi.
Upekha: Keseimbangan Batin.
Sikap ini adalah melihat kenyataan dari setiap situasi, tanpa terperangkap secara emosional. Upekha mendorong diri untuk melihat segala sesuatu secara objektif.