Film Mulan yang dirilis oleh Disney pada awal September 2020 ini, bukan hanya sekedar film hiburan. Makna perjuangan yang dikisahkan, mewakili seluruh pahlawan wanita yang berperang melawan tirani di dunia
Siapa sangka di tanah jawa, pada tahun 1740, ada seorang gadis Tionghoa yang ikut berperang melawan VOC dalam Perang Geger Pecinan. Ia adalah Raden Ayu (R.A.) Tan Peng Nio, yang kelak dipersunting oleh bangsawan KRT Kolopaking III.
**
Sebuah makam kuno terletak di Desa Jatimulyo, Kecamatan Alian, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Makam tersebut bergaya arsitektur Tionghoa dan cukup menyolok dengan keberadaannya sendiri di tengah sawah.
Disangga dengan 4 pilar, dan cungkup yang terbuka, dengan tatanan batu berlapis semen setinggi 1meter dari permukaan tanah. Makam ini adalah bagian dari Cagar Budaya yang dilindungi oleh Pemerintah Indonesia.
Batu Nisan dihiasi dengan ornamen khas Tionghoa, seperti sepasang burung Hong pada sayap kiri dan kanan nisan, serta beberapa tulisan dalam aksara mandarin.Â
**
R.A. Tan Peng Nio disebut sebagai anggota Laskar Tionghoa atau pasukan Kapitan Sepanjang, yang bertugas di garis depan pertempuran. Pasukan ini berada di bawah komando pasukan besar Raden Mas Garendi atau Sunan Kuning dalam perang gerilya melawan VOC di Jawa Tengah hingga Jawa Timur pada masa itu.
Tan Peng Nio adalah anak dari Jendral Tan Wan Swee. Ada dua versi berbeda mengenai siapakah sebenarnya Jenderal Tan Wan Swee ini.
Versi pertama menyebutkan bahwa Jenderal Tan adalah seorang Jenderal yang memberontak melawan Kaisar Kien Long dari Dinasti Qing, China. Saat kudeta gagal, ia menitipkan putrinya, Tan Peng Nio kepada seorang sahabat baiknya Lia Beeng Goe, seorang ahli bela diri yang melarikan diri ke Singapura kemudian ke Sunda Kelapa (Jakarta).
Versi kedua mengatakan bahwa ia adalah seorang Jenderal pelarian dari Tiongkok yang turut ambil bagian dalam Perang Geger Pecinan, bersama Raden Mas Garendi. Tan Wan Swee disebutkan sebagai tokoh berpengaruh yang mengajarkan seni bela diri Kuntao kepada masyarakat Kebumen.
**
Pada saat Perang Geger Pecinan meletus, Tan Peng Nio bersama Lia Beeng Goe kemudian mengungsi ke arah timur dan bertemu dengan Kiai Honggoyudho yang mahir membuat senjata.
Disebutkan bahwa Kiai Honggoyudho-lah yang mengajak Tan Peng Nio bergabung bersama 200 pasukan Panjeer Roma, bentukan K.R.A.T. Kolopaking II, yang dikirimkan untuk membantu pasukan Pangeran Garendi, pada saat perang mulai menyebar ke Jawa Tengah.
Konon perang gerilya yang berlangsung selama 3 tahun, Tan Peng Nio menyamar sebagai prajurit lelaki. Selama berada dalam pasukan, ia juga berkenalan dengan Raden Sulaiman Kertowongso, putra dari K.R.A.T. Kolopaking II.
Setelah perang usai, Tan Peng Nio menikah dengan Raden Sulaiman yang kemudian menggantikan ayahnya menjadi K.R.A.T. Kolopaking III. Tan Peng Nio kemudian diberi gelar Raden Ayu, sebagai bagian dari keluarga bangsawan Kolopaking yang berkuasa di daerah Banyumas.
**
Perang Geger Pecinan, dimulai pada saat VOC melakukan pembantaian terhadap masyarakat etnis Tionghoa di Batavia, tahun 1740. Saat itu orang Tionghoa menolak beratnya pajak yang harus mereka bayar.
Sebagai akibatnya, VOC kemudian menetapkan kuota bagi jumlah penduduk Tionghoa di Batavia. Penduduk yang tidak memiliki pekerjaan, dikirim ke Sri Lanka.
Namun, beredar desas desus, bahwa sebenarnya mereka akan dibunuh dan dibuang ke laut. Hal ini kemudian menimbulkan antisipasi dari warga dengan mulai mempersenjatai diri.
Sisa-sisa orang Tionghoa kemudian melarikan diri ke Jawa Tengah, dan bergabung dengan kekuatan Kerajaan Mataram yang mengobarkan perang besar antar dua etnis (Jawa dan Tionghoa) melawan VOC.
Pemimpin laskar Tionghoa pada saat itu bernama Kapiten Sepanjang. Dari sumber disebutkan bahwa nama sebenarnya adalah Singkeh Souw Pan Chiang, yang berubah menjadi Sepanjang akibat pelafalan bahasa Jawa di kala itu.
Sayangnya, karena kekhwatiran kalah dari Belanda, pada awal tahun 1742, Raja Mataram, Sunan Pakubuwono II, berbalik arah mendukung VOC dan memerangi Laskar Tionghoa.
Niat ini ditentang oleh sejumlah petinggi Keraton, panglima perang, dan bupati, yang tetap konsisten melawan VOC bersama Laskar Tionghoa. Peperangan yang semakin besar, tak terelakkan lagi.
Pasukan Raden Mas Garendi dan Kapitan Sepanjang bergerak dan merebut Keraton Mataram di Kertasura, tanpa perlawanan yang berarti, pada tanggal 30 Juni 1742.
Raden Mas Garendi kemudian naik tahta menjadi Raja Mataram selanjutnya. Ia juga bergelar Sunan Kuning, yang konon berasal dari bahasa Tionghoa Cun Ling, yang berarti 'Bangsawan Tertinggi'.
Namun ada juga sumber yang mengatakan bahwa makna 'Kuning' berasal dari kata "Raja yang memiliki pasukan kulit berwarna kuning (Tionghoa)"Â saat melawan VOC.
Meskipun telah menjadi Raja Mataram, perang tidak berhenti. Sunan Kuning kini harus menghadapi tiga kekuatan sekaligus, yaitu VOC, pasukan Pakubuwono II yang mengungsi ke Ponorogo, dan pasukan Madura di bawah pimpinan Cakraningrat.
Akhirnya, serangan pasukan Madura, berhasil merebut kembali Keraton Surakarta, yang kemudian diserahkan kepada Pakubowono II, atas desakan dari VOC.
Pada tanggal 20 Desember 1742, Pakubuwono IIÂ kembali dinobatkan menjadi Raja Mataram dan tunduk di bawah kekuasaan VOC.
Sunan Kuning dengan pengawalan Kapitan Sepanjang dan sisa prajuritnya bergerak ke arah timur untuk meneruskan perlawanan secara gerilya.
Dalam sebuah peperangan besar pada tahun 1743, akhirnya Sunan Kuning menyerah kepada Belanda di Surabaya dan dibuang ke Sri Lanka.
Kapitan Sepanjang yang berhasil lolos, pindah ke Bali dan mengabdi kepada salah satu kerajaan disana, untuk meneruskan perjuangannya melawan Belanda.
Sadar akan kekuatan penggabungan orang Tionghoa dan Jawa, Belanda mulai melakukan politik adu domba, dengan mengangkat warga Tionghoa sebagai warga kelas II, di bawah kaum Eropa, dan di atas kaum Bumiputera.
Strategi ini juga dibarengi dengan pemisahan wilayah pendudukan warga Tionghoa secara ekslusif dengan warga pribumi, agar tidak terjadi pembauran. Strategi ini terbukti berhasil, dengan terbentuknya segregasi diantara warga Tionghoa dan kaum Bumiputera.
**
Sejarah Perang Kuning secara keseluruhan perlu mengingatkan kita, bahwa semangat perjuangan sebagai satu bangsa dan satu tanah air, janganlah dilihat dari warna kulit semata. Â
Seberapa besar jasa perjuangan Tan Peng Nio melawan penjajah Belanda, tidak ada yang bisa memastikan. Namun, kehadirannya, turut memberi warna dalam sejarah bangsa melawan penjajahan Belanda. Â
Tidaklah terlalu berlebihan, jika Tan Peng Nio kita beri gelar sebagai Mulan dari Tanah Jawa.
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H