Sisa-sisa orang Tionghoa kemudian melarikan diri ke Jawa Tengah, dan bergabung dengan kekuatan Kerajaan Mataram yang mengobarkan perang besar antar dua etnis (Jawa dan Tionghoa) melawan VOC.
Pemimpin laskar Tionghoa pada saat itu bernama Kapiten Sepanjang. Dari sumber disebutkan bahwa nama sebenarnya adalah Singkeh Souw Pan Chiang, yang berubah menjadi Sepanjang akibat pelafalan bahasa Jawa di kala itu.
Sayangnya, karena kekhwatiran kalah dari Belanda, pada awal tahun 1742, Raja Mataram, Sunan Pakubuwono II, berbalik arah mendukung VOC dan memerangi Laskar Tionghoa.
Niat ini ditentang oleh sejumlah petinggi Keraton, panglima perang, dan bupati, yang tetap konsisten melawan VOC bersama Laskar Tionghoa. Peperangan yang semakin besar, tak terelakkan lagi.
Pasukan Raden Mas Garendi dan Kapitan Sepanjang bergerak dan merebut Keraton Mataram di Kertasura, tanpa perlawanan yang berarti, pada tanggal 30 Juni 1742.
Raden Mas Garendi kemudian naik tahta menjadi Raja Mataram selanjutnya. Ia juga bergelar Sunan Kuning, yang konon berasal dari bahasa Tionghoa Cun Ling, yang berarti 'Bangsawan Tertinggi'.
Namun ada juga sumber yang mengatakan bahwa makna 'Kuning' berasal dari kata "Raja yang memiliki pasukan kulit berwarna kuning (Tionghoa)"Â saat melawan VOC.
Meskipun telah menjadi Raja Mataram, perang tidak berhenti. Sunan Kuning kini harus menghadapi tiga kekuatan sekaligus, yaitu VOC, pasukan Pakubuwono II yang mengungsi ke Ponorogo, dan pasukan Madura di bawah pimpinan Cakraningrat.
Akhirnya, serangan pasukan Madura, berhasil merebut kembali Keraton Surakarta, yang kemudian diserahkan kepada Pakubowono II, atas desakan dari VOC.